Breaking News
Home / Ulumuddin / Fiqh / Pengertian Dan Hukum Jual Beli / Belanja Online

Pengertian Dan Hukum Jual Beli / Belanja Online

Pengertian Jual Beli / Belanja Online

Jual beli online atau kadang familiar di sebut belanja online merupakan perdagangan yang mengikuti perkembangan zaman, dimana hampir seluruh lapis kehidupan manusia guna memenuhi kebutuhan juga mengalami modifikasi sedemikian rupa. Pada mulanya sistem penukaran barang  hanya bisa dilakukan secara manual (barter) dengan mengharuskan kehadiran antara  penjual dan pembeli di satu tempat dengan adanya barang disertai dengan transaksi (ijab dan qabul). Namun dengan kemudahan  fasilitas dan  semakin canggihnya tekhnologi, proses jual beli yang tadinya mengharuskan cara manual bisa saja dilakukan via internet.

Hukum Jual Beli Online / Belanja Online

Dalam forum Bahtsul Masail Muktamar NU ke-32 di Makasar tahun 2010. Adapun jawabannya adalah bahwasannya Hukum akad (transaksi) jual beli / belanja online melalui alat elektronik sah, apabila sebelum transaksi kedua belah pihak sudah melihat mabi’ (barang yang diperjualbelikan) atau telah dijelaskan baik sifat maupun jenisnya, serta memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun jual beli lainnya  dengan dasar pengambilan hukum;
1. Syarh al-Yaqut an-Nafis karya Muhammad bin Ahmad al-Syatiri:

وَالْعِبْرَةُ فِي الْعُقُودِ لِمَعَانِيهَا لَا لِصُوَرِ الْأَلْفَاظِ وَعَنِ الْبَيْعِ وَ الشِّرَاءِ بِوَاسِطَةِ التِّلِيفُونِ وَالتَّلَكْسِ وَالْبَرْقِيَاتِ كُلُّ هذِهِ الْوَسَائِلِ وَأَمْثَالِهَا مُعْتَمَدَةُ الْيَوْمِ وَعَلَيْهَا الْعَمَلُ

Yang diperhitungkan dalam akad-akad adalah subtansinya, bukan bentuk lafalnya. Dan jual beli via telpon, teleks dan telegram dan semisalnya telah menjadi alternatif utama dan dipraktikkan.

Pengertian Dan Hukum Jual Beli / Belanja Online2. Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syihabuddin Ar-Ramli:
(وَالْأَظْهَرُ أَنَّهُ لَا يَصِحُّ) فِي غَيْرِ نَحْوِ الْفُقَّاعِ كَمَا مَرَّ (بَيْعُ الْغَائِبِ) وَهُوَ مَا لَمْ يَرَهُ الْمُتَعَاقِدَانِ أَوْ أَحَدُهُمَا ثَمَنًا أَوْ مُثَمَّنًا وَلَوْ كَانَ حَاضِرًا فِي مَجْلِسِ الْبَيْعِ وَبَالِغًا فِي وَصْفِهِ أَوْ سَمْعِهِ بِطَرِيقِ التَّوَاتُرِ كَمَا يَأْتِي أَوْ رَآهُ فِي ضَوْءٍ إنْ سَتَرَ الضَّوْءُ لَوْنَهُ كَوَرَقٍ أَبْيَضَ فِيمَا يَظْهَرُ

(Dan menurut qaul al-Azhhar, sungguh tidak sah) selain dalam masalah fuqa’-sari anggur yang dijual dalam kemasan rapat/tidak terlihat- (jual beli barang ghaib), yakni barang yang tidak terlihat oleh dua orang yang bertransaksi, atau salah satunya. Baik barang tersebut berstatus sebagai alat pembayar maupun sebagai barang yang dibayari. Meskipun barang tersebut ada dalam majlis akad dan telah disebutkan kriterianya secara detail atau sudah terkenal secara luas -mutawatir-, seperti keterangan yang akan datang. Atau terlihat di bawah cahaya, jika cahaya tersebut menutupi warna aslinya, seperti kertas putih. Demikian menurut kajian yang kuat.

Dalam pandangan madzhab Syafi’i (sebagaimana referensi kedua),  barang yang diperjual belikan disyaratkan dapat  dilihat secara langsung oleh kedua belah pihak. Hal ini merupakan bentuk kehati-hatian agar tidak terjadi penipuan (ghoror) dalam jual beli karena Rasulullah melarang praktek yang demikian, sebagaimana  dalam sebuah hadis dinyatakan:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Artinya: Rasulullah saw melarang jual beli yang didalamnya terdapat penipuan. (HR.Muslim).

Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:

منسترئشيتالميرهفلهالخيارإذاراه

Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.

Transaksi online dibolehkan menurut Islam berdasarkan prinsip-prinsip yang ada dalam perdagangan menurut Islam, khususnya dianalogikan dengan prinsip transaksi as-salam, kecuali pada barang/jasa yang tidak boleh untuk diperdagangkan sesuai syariat Islam.

Terdapat kaidah ushul fiqh. Al ashlu fil asy-yaa’ al-ibaachah, chattaa yadullad daliilu’ alattahriim,  yakni pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya. berpijak dari landaran kaidah fiqhiyyah tersebut maka jual-beli lewat online (internet) itu diperbolehkan, dan sah, kecuali jika secara kasuistis terjadi penyimpangan, manipulasi, penipuandan sejenisnya, maka secara kasuistis pula hukumnya diterapkan, yaitu haram. Tetapi kasus tertentu menurut tidak dapat dijadikan menjeneralisasi sesuatu yang secara normal positif boleh dan halal. oleh karena itu jika ada masalah terkait ketaksesuaian barang antara yang ditawarkan dan dibayar dengan yang diterima, maka berlaku hukum transaksi pada umumnya, bagaimana kesepakatan yang telah dijalin. inilah salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab batalnya transaksi jual beli dan dapat menjadi salah satu penyebab haramnya jual beli, baik online atau bukan karena adanya manipulasi atau penipuan.

Demikian beberapa kesimpulan mengenai Pengertian Dan Hukum Jual Beli / Belanja Online, semoga bermanfaat.

Silahkan berkunjung ke laman sosial kami  likehistory2   follow-us-on-twitter

 

Facebook Comments Box

Check Also

Hukum Memakai Rambut Palsu atau Wig

Perkembangan sosial tentu diikuti model gaya hidup yang semakin berkembang pula, berikut pula cara berpenampilan. …