Biografi Khalifah Ali Bin Abi Thalib RA.
Ali bin Abi Thalib lahir di Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadhan 40/24 Januari 661. Khalifah keempat terakhir dari al-Khulafa ar-Rasyidin (empat khalifah besar); orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi saw. yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasim bin Abdul Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi saw. Abdullah bin Abdul Mutholib. Ibunya bernama Fatimah binti As’at bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sewaktu lahir dia di beri nama Haidarah oleh ibunya. Namun kemudian di ganti ayahnya dengan Ali.
Ali bin Abi Thalib RA sebagai Khalifah pada pertengahan bulan Dzul Hijjah 33 Hijri, di hari terbunuhnya Utsman ra. Ada sejumlah sahabat yang terlambat membaiatnya, diantara mereka ialah Sa‘ad bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Mughirah bin Syu‘bah, Nu‘man bin Basyir dan Hasan bin Tsabit. Hari-hari Khilafahnya merupakan matarantai perang Onta kemudian perang Shiffin, sebagai pertentangan yang timbul antara jumhur kaum Musliin dan Mu‘awiyah, lalu fitnah kaum khawarij yang terakhir dengan kejahatan mereka yang terburuk , yaitu membunuh Ali ra. Semua peristiwa ini akan kami sebutkan secara singkat.
Menuntut Pembelaan untuk Utsman dan perang Onta
Tidak diragukan lagi bahwa pembunuhan Utsman dilakukan oleh kaum pemberontak yang didalangi oleh Yahudi. Wajar jia para pembunuh itu harus menanggung segala qishash yang syar‘i. Seluruh kaum Muslimin terutama Ali ra berusaha melakukan qishash terhadap para pembunuh Utsman. Hanya saja Ali minta kepada mereka yang terburu-buru agar menunggu barang sebentar sampai segala urusan beres. Atau sampai ia dapat mewujudkan apa yang dinilainya sebagai pendahuluan yang bersifat dharuri, menjamin terlaksananya qishash dan menjauhkan sebab-sebab timbulnya fitnah.
Para ahli sejarah sepakat bahwa Ali membenci kaum pemberontak yang telah membunuh Utsman. Beliau selalu menunggu-nunggu kesempatan untuk bisa menggulung mereka. Bahkan ia sangat berharap dapat melakukan secepat mungkin untuk mengambil hak Allah dari mereka (qishash). Tetapi kenyataannya masalah tersebut tidak berjalan sebagaimana yang diinginkannya.
Singkat peristiwa, Thalha dan Zubair dan sejumlah sahabat masing-masing berpendapat agar Ali segera menangkap para pembunuh dan melaksanakan qishash terhadap mereka. Guna menjamin keselamatan pelaksanaannya dan menghindarkan fitnah, mereka menawarkan kepada Ali untuk melakukan tugas tersebut dan meminta agar Ali mendatangkan pasukan dari Basrah dan Kufah untuk mendukungnya. Tetapi Ali meminta agar mereka menunggu sampai ia menyusun program yang baik untuk melaksanAkan hal itu.
Hal yang terjadi setelah itu ialah bahwa masing-masing dari kedua belah pihak melaksanakan ijtihadnya dalam menggunakan cara yang terbaik untuk menuntut darah Utsman. Maka berkumpullah orang-orang yang berpendapat harus segera melaksanakan qishash, di Basrah. Diantara mereka terdapat Aisyah Ummul Mukminin, Thalha, Zubair, dan sejumlah besar sahabat. Tujuan merka tida lain untuk mengingatkan para penduduk Basrah akan perlunya kerjasama dalam mengepung para pembunuh Utsman dan menuntut darahnya dari mereka.
Saat itu pasukan dari Ali pun berangkat ke sana guna melakukan ishlah dan menyatukan kalimat, Maka semua pihak berangkat ke tempat tersebut dan tidak ada seorang pun diantara mereka ang punyak maksud untuk memulai peperangan atau menyulut api fitnah.
Al Qa‘qa bni Amer sebagai utusan dari pihak Ali ra menemui Aisyah ra seraya bertanya :“Wahai ibunda, apakah gerangan yang mendorong kedatangan ibunda ke negeri ini?“ Aisyah menjawab :“Ishlah diantara manusia.“ Kemudian Al Qa‘qa menemui Thalha dan Zubair dan menyampaikan pertanyaan yang sama. Keduanya menjawab.“Kami juga demikian, Kami tidak datang ke tempat ini kecuali untuk melakukan ishlah di antara manusia.“ Kemudian semua pihak berbicara dan berunding yang akhirnya sepakat untuk menyerahkan urusan ini kepada Ali dengan syarat supaya tidak segan-segan mengerahkan segenap upaya untuk menegakkan hukum Allah atas para pembunuh Utsman, jika ia telah dapat melaksanakannya.
Akhirnya Al Qa‘qa kembali kepada Ali menyampaikan kesepakatan yang telah dicapai dan keinginan orang-orang untuk berdamai. Llau Ali berpidato di hadapan khalayak ramai seraya memuji Allah atas nikmat perdamaian dan kesepatakan yang telah tercapai. Selanjutnya Ali mengumumkan bahwa besok akan segera bertolak. Tetapi apa yang terjadi setelah itu ?
Tidak lama setelah Ali mengumumkan terjadinya perdamaian, kesepakatan dan rencana berangkat esok hari, malam itu pula para gembong fitnah pun mengadakan pertemuan. Diantara mereka terdapat Al Asytar an Nakha‘I Syauraih bin Aufa, Abdullah bin Saba‘ yang terkenal dengan nama Ibnu Sauda‘, Salim bin Tsalaba, dan Ghulam bin al Haitsam. Alhamdulillah tak seorangpun dari kalangan sahabat ynag termasuk dalam kelompo mereka, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu Katsir.
Para gembong fitnah ini membahas tentang bahaya perdamaian dan kesepakatan tersebut bagi mereka. Kesepakatan para sahabat itu merupakan bahaya dan ancaman bagi mereka. Salah seorang diantara mereka mengusulkan , „Jika demikian halnya, kita segera bunuh saja Ali seperti halnya utsman“
Tetapi Abdullah bin Saba‘ mengecam dan menentang pendapat ini seraya berkata kepada mereka .,“Sesungguhnya keberhasilan kalian terletak pada pergaulan kalian dengan masyarakat. Jika kalian bertemu dengan orang-orang maka kobarkanlah peperangan dan pertemuran diantara mereka. Janganlah kalian biarkan mereka bersatu.
Orang yang ada di sekitar kalian akan enggan melakukan pertempuran demi membela dirinya.“ Setelah menyepakai konspirasi ini mereka pun berpencar. Pada hari kedua, Ali berangkat kemudian diikuti oleh Thalha dan Zubair. Sementara itu perdamaian dan kesepakatan telah dikukuhkan. Orang-orang pun menikmati malam terbaiknya, kecuali para pembunuh Utsman yang gelisah di malam itu. Sementara itu Abdullah bin Saba‘ dan kawan-kawannya telah sepakat untuk mengobarkan peperangan di ujung malam dan menjebak orang-orang ke dalam
Peperangan tersebut apapun yang terjadi.
Orang-orang yang melakukan konspirasi jahat ini bergerak sebelum fajar. Jumlah mereka hampir 2000 orang. Masing-masing kelompok bergerak mendatangi kerabat mereka lalu melakukan serbuan mendadak dengan pedang-pedang mereka. Kemudian masing-masing kelompok bangkit untuk membela kaummnya. Akhirnya orang-orang bangun dari tidurnya dengna membawa pedang sambil berkata :“Para penduduk Kufah menyerang kita pada malam hari dan berkhianat kepada kita.“ Mereka mengira bahwa tindakan tersebut adalah rencana busuk yang dilakukan Ali ra. Setelah mendengar berita tentang hal ini, Ali berkta :“Apa yang terjadi pada masyarakat“. Yang berada di sekitarnya berteriak :“Penduduk Basrah menyerang kita di malam hari dan berkhianat terhadap kami:“ Kemudian masing-masing kelompok mengambil pedangnya , memakai baju perang dan menunggang kuda, tanpa mengetahui hakekat sebenarnya. Karena itu wajar bila kemudian secara spntan terjadi peperangan dan pertempuran.
Orang-orang yang berhimpun di sekitar Ali berjumlah 20.000 orang sedangkan orang-orang yang bergabung dengan Aisyah sekitar 30.000 orang. Sementara itu para pengikut Abdullah bin Saba‘ yang terabaikan semoga Allah memburukkan mereka tak henti-hentinya melakukan pembunuhan sehingga para penyeru dari pihak Ali mulai menyerukan :“Berhentilah berhentilah“ tidak mendapatkan sambutan sama sekali.
Di tengah sengit berkecamuknya pertempuran ini, bila wajah-wajah yang saling mengenal di bawah naungan keimanan itu berhadapan, maka mereka saling menahan diri dan menghindar , tak perduli dari kelompok mana pun mereka. Imam baihaqi meriwayatkan secara besambung , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Muhamamd bin Al Hasan al Qadhi, ia meriwaatkan dengan sanadnya dari Harb bin Al Aswad ad Da‘uli, ia berkata : Ketika Ali dan kawan-kawannya mendekati Thalhah dan Zubair dan berisan pun telah saling mendekat maka keluarlah Ali seraya menunggang baghal Rasulullah saw , kemudian berseru :“Panggilkan saya Zubair bin Awwam“. Setelah Zubair dipanggil datanglah ia sampai tengkuk kedua tungannya saling bersentuhan, Ali berkata :“Wahai Zubair, demi Allah apakah engkau ingat ketika Rasulullah saw melewatimu sedangkan kami berada di tempat ini dan itu ?“ Kemudian beliau bertanya :“Wahai Zubair apakah kamu mencintai Ali ?“ Lalu kamu menjawab ;“Mengapa aku tidak mencinta Ali?“ Lalu kamu menjawab :“Mengapa aku tidak mencintai anak bibiku dan anak pamanku bahkan seagama denganku?“ Kemudian Nabi saw bersabda ,“Wahai Zubair , demi Allah suatu saat engkau pasti akan memeranginya dan menzhaliminya.“ Zubair menjawab,“Demi Allah, aku telah lupa akan peristiwa tersebut semenjak aku mendengar dari Rasulullah. Tetapi sekrang baru teringat lagi. Demi Allah aku tidak akan memerangimu untuk selama-lamanya.“ Kemudian Zubair kembali dengan menunggang kendaraannya membelah barisan.
Ketika onta Aisyah ra jatuh ke tanah kemudian sekedupnya dibawah jauh dari medan pertempuran, Ali datang kepadanya seraya mengucapkan slaam dan menanyakan keadaan seraya berkata :“Bagaimana keadaanmu wahai ibunda?“ Aisyah menjawab.“Baik“. Ali berkata, „Semoga Allah mengampunimu.“ Kemudian orang-orang dan para sahabat datang seraya mengucapkan salam kepadanya dan menanyakan keselamatannya.
Masalah Mu‘awiyah dan Perang Shiffin
Ali kembali ke Kufah yang telah dijadikan sebagai pusat Khilfah. Sesampainya di Kufah, Ali segera mengutus Jurair bin Abdullah al Bajli kepada Mu‘awiyah di Syam guna mengajak bergabung ke dalam apa yang telah dilakuan orang-orang, dan memberitahukan bahwa para Muhajirin dan Anshar telah sepakat untuk membaiatnya. Tetapi Mu‘awiyah berpendapat bahwa baiat Ali tidak sah karena berpencarnya Ahlul Halli al Aqdi dari apda sahabat di berbagai negeri, padahal baiat itu tidak akan dinyatakan sah kecuali dengan kehadiran mereka semua. Oleh sebab itu, Mu‘awiyah tidak bersedia memenuhi ajakan Ali , samapai para pembunuh Utsman diqishash kemudian kaum Muslimin memlih sendiri Imam mereka.
Sementara itu Ali berkeyakinan penuh bahwa baiat telah dilakukan dengan kesepakatan ahlul Madinah (penduduk Madinah), Darul Hijarh Nabawiyah. Dengan demikian, setiap orang yang terlamat berbaiat diantara orang-orang yang tinggal di luar Madinah berkewajiban untuk segera bergabung kepada pembaiatan tersebut. Ada pun soal mengqishash para pembunuh Utsman, seperti telah kami sebutkan, Ali sendiri termasuk orang yang paling bersemangat untuk melakukannya, tetapi ia punya rencana yang matang untuk menjamin keselamatan segala resikonya.
Demi mendengar penolakkan Mu‘awiyah , Ali langsung menanggapinya sebagai „Pemberontakan“ yang keluar dari Jama‘atul Muslimin dan Imam mereka. Kemudian Ali beserta pasukannya berangkat pada tanggap 12 Rajab tahun ke 36 Hijri lalu pasukannya dikonsentrasikan di Nakhilah. Tidak lama kemudian Ibnu Abbas datang kepadanya dari Basrah, setelah bertugas sebagai wakilnya. Ali memobolisasi pasukannya untuk memrangi penduduk Syam dan memaksa mereka untuk tunduk ke Jama‘atul Muslimin.
Setelah mengetahui hal ini, Mu‘awiyah pun dengan serta merta mengerahkan pasukannya dari Syam, hingga kedua pasukan ini bertemu di dataran Shiffin di tepi sungai Furat. Selama dua bulan atau lebih kedua pihak saling bergantian mengirim utusan. Ali menagjaak Mu‘awiyah dan orang-orang yang berwsamanaya untuk membaiatnya. Beliau juga meyakinkan Muawiyah bahwa qishash terhadap para pembunuh Utsman pasti akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Sementara itu Mu‘awiyah menyerukan Ali, agar sebelum melakukan segala sesuatu, hendaklah menangkap para pembunuh Utsman yang merupakan anak pamannya dan karna itu dia (Mu‘awiyah) merupakan orang yang paling berhak menuntut darahnya. Selama pembahasan dan perundingan ini barangkali telah terjadi pertempuran-pertempuran kecil dan manuver.
Keadaanini terus berlangsung hingga datang bulan Muharram tahun ke 37- hijri. Kemudian Mu‘awiyah dan Ali sepakat unutk melakukan gencatan senjata, selama sebulan. Dengan harapan dapat dicapai ishlah. Tetapi masa gencatan senjata ini berkahir tnapa membuahkan hasil ynag diharapkan. Pada saat itu Ali memerintahkan seorang yang bertugas untuk mengumumkan :“Wahai penduduk Syam, Amirul Mukminin menyatakan kepada kalian bahwa aku telah memberi waktu yang cukup kepada kalian untuk kembali kepada kebenaran, tetapi kalian tetap tidak mau berhenti dari pembangkangan dan tidak mau kembali kepda kebenaran. Karena itu, kini aku kembalikan perjanjian ini kepada kalian dengan penuh kejujuran. Sesungguhnya Allah tidak mencintai para pengkhianat“.
Saat itulah Mu‘awiyah dan Amr Bin Ash memobilisasi pasukannya dari segala arah. Demikan pula Ali, sejak malam itu ia memobolisasi pasukannya. Ia mengangkat Asytar an Nkha’‘ sebagai komandan pasukan penduduk Bashrah. Kemudian Ali berwasiat kepada pasukannya agar tidak mendahului penyerbuan hingga penduduk Syam memulainya, tidak menyerang orang yang luka, tidak mengejar orang yang mundur melarikan diri, tidak membuka aurat wanita, dan tidak menganiaya.
Pada hari pertama dan kedua, pertempuran berlangung dengan sengit. Perang berlangsung selama tujuh hari tanpa ada pihak yang kalah dan memang. Tetapi pada akhirnya Mu‘awiyah dan pasukannya semakin terdesak oleh pasukan Ali. Ali dan pasukannya nyaris mencatat kemenangan.
Arbitrase dan Peristiwa Tahkim
Saat itulah Mu‘awiyah dan Amr bin Ash berunding. Amr Bin Ash mengusulkan supaya Mu‘awiyah mengajak penduduk Irak untuk berhukum kepada kitab Allah. Lalu Mu‘awiyah memerintahkan orang-orang supaya mengangkat Mush-haf di ujung tombak dan memerintahkan seorang petugas untuk menyerukan atas namanya, „Ini adalah Kitab Allah di antara kami dan kalian:“ ketika pasukan Ali melihat hal ini mereka sudah hampir memperoleh kemenangan terjadilah perselisihan diantara mereka : Ada yang setuju untuk berhukum kepada kitab Allah dan ada pula yang tidak mengehendaki kecuali peperangan karena siapa tahu hal itu hanyalah tipu daya.
Sebenarnya Ali cenderung kepada pendapat yang terakhir, tetapi ia terpaksa mengikuti pendapat pertama yang pendukungnya mayoritas. Kemudian Ali mengutus al Asytar bin Qais kepda Mu‘awiyah guna menanyakan apa sebenarnya yang dikehendakinya. Mu‘awiyah menjelaskan, „Marilah kita kembali keapda kitab Allah, kami pilih seorang wkail ynag kami setujui dan kalian pilih pula seorang wakil yang kalian setujui. Kemudian kita semua menyumpah kedua wakil tersebut untuk memutuskan sesuai dengan apa yang diperingatkan Allah. Apapun keputusan kedua waki ltersebut wajib kita ikuti.“
Kemudian penduduk Syam memilih Amr bin Ash sedangkan penduduk Iraq memlih Abu Musa al Asy‘ari. Maka diperoleh kesepakatan antar kedua belah pihak setelah keduanya menulis perjanjian menyangkut hal ini. Untuk menunda keputusan tersebut sampai bulan Ramadhan setelahitu kedua Hakim tersebut bertemu di Daumatul Jandal. Setelah kesepakatan ini orang-orang pun bubar dan kembali ke tempat masing-masing.
Ali kembali dari Shiffin menuju Kufah. Sementara itu, di kalangan pasukan Ali terjadi perpecahan yang sangat berbahaya, sehingga ketika sampai di Kufah Ali dinyatakan dipecat oleh sekelompok orang yang menilai masalah tahkim sebagai suatu kesesatan. Mereka berjumlah 12.000 orang yang berhimpun di Harura, kemudian Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk berdialog dan menasehatinya tetapi upaya ini tidak membawa hasil apa-apa. Akhirnya Ali sendiri yang berangkat menemui mereka. Setelah berhadapan dengan mereka Ali bertanya ;“Apakah yang menyebabkan kalian melakukan pembangkangan ini?“ Mereka menjawab :“Masalah tahkik yang kamu setujui di Shiffin“.
Ali menjelaskan ,“Tetapi aku telah mensyaratkan kepada kedua hakim itu agar menghidupkan apa yang dihidupkan Al-Quran dan mematikan apa yang dimatikan Al-Quran.“ Mereka mengatakan :“Coba jelaskan kepada kami, apakah adil bertahkim kepada orang di tengah gelimangan darah?“ Ail menjawab :“Kami tidak bertahkim kepada orang tetapi berhukum kepada al-Quran. Al-Quran ini adalah tulisan yang termaktub di atas kertas dan tidak dapat berbicara. Yang dapat membunyikannya adalah orang.“ Mereka bertanya lagi.“Lalu kenapa kalian batasi waktunya?“ Ali menjawab :“Supaya orang yang tidak tahu mengetahuinya dan orang yang tahu dapat berpegang teguh. Semoga allah memperbaiki ummat ini dengan gencatan senjata ini.“
Akhirnya mereka menerima pandangan Ali. Kepda mereka Ali mengatakan :“Masuklah kalian ke negeri kalian, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian.“ Kemudian mereka semua masuk.
Setelah batas waktu yang ditentukan habis dan bulan Ramadhan tahun ke 37-Hijri telah datang. Ali mengutus Abu Musa al Anshari dengan sejumlah sahabat dan penduduk Kufah. Sedangkan Mu‘awiyah mengutus Amr Bin Ash dengan sejumlah penduduk Syam. Kedua kelompok ini berkumpul di Daumatul Jandal. Setelah keduanya memanjatkan puja-puji kepada Allah dan saling menyampaikan nasehat, akhirnya diperoleh kesepakatan agar disipakan lembar catatan dan seorang menulis yang akan mencatat semua yang telah disepakati kedua belah pihak. Nyatanya kedua belah pihak tidak mencapai kata sepakat tentnag kepada siapa urusan ummat ini (Khalifah) akan diserahkan. Abu Musa al-Asyari setuju mencopot Ali dan Mu‘awiyah kemudian tidak memilih untuk Khalifah kercuali Abdullah bin Umar, tetapi ia sendiri tidak mau ikut campur dalam urusan ini.
Saat itu kedua hakim telah sepakat untuk mencopot Ali dan Muawiyah kemudian keduanya harus menyerahkan urusan ini kepada Syura kaum Muslimin guna menentukan pilihan mereka sendiri. Kemudian keduanya mendatangi para pendukungnya masing-masing, Amr Bin Ash mempersilahkan Abu Musa al Asyari maju. Setelah memanjatkan puja-puji kepada Allah dan salawat kepada Rasululah saw, ia berkata :“Wahai manusia setelah membahas urusan ummat ini kami berkesimpulan bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik dan lebih dapat mewujudkan persatuan selain dati apa yang telah aku dan Amer sepakati yaitu mencopot Ali dan Mu‘awiyah.“
Setelah menyampaikan kalimatnya, Abu Musa al Asyari mundur maka tiba giliran Amer ynag menyampaikan kalimatnya. Setelah memanjatkan puja dan puji kepada Allah kemudian Amer menyatakan :“Sesungguhnya ia (Abu Musa) telah menyatakan apa yang telah kalian dengar. Ia telah mencopot kawannya dan aku pun telah mencopot sebagaimana dia. Tetapi aku mengukuhkan kawanku Mu‘awiyah karena sesungguhnya ia adalah putra Mahkota Utsman bin Affan, penuntut darahnya, dan orang yang paling berhak menggantikannya.
Setelah tahkim ini orang-orang pun bubar dengan rasa kecewa dan tertipu, kemudian kembali ke negerinya masing-masing. Amr bin Ash dan kawan-kawannya menemui Mu‘awiyah guna menyerahkan Khilafah kepadanya. Sedangkan Abu Musa pergi ke mekkah karena malu kepada Ali. Ibnu Abbas dan Suraih bin Hani‘ kembali kepada Ali dan memceritakan peristiwa tersebut.
Khawarij dan Terbunuhnya Ali Bin Abi Thalib
Ketika Ali mengutus Abu Musa Al Asyaari dan pasukanna ke Daumatul Jandal, maslah kaum khawarij (pembelot) semakin bertambah memuncak. Mereka sangat mengecam Ali bahkan terus-teraang mengkafirkannya karena tindakannya menerima tahkim. Padahal kaum khawarij ini seblumnya termasuk mereka yang paling suka kepada Ali.
Setelah upaya dialog dan nasehat yang dilakukan Ali kepada mereka tidak bermanfaat sama sekali, akhirnya Ali berkata kepada mereka, „Sesungguhnya kami berkewajiban untuk tidak melarang kalian shalat di masjid-masjid kmai selama kalian tidak membangkang kami, kami tidak akan menahan kalian tehradap fa‘I ini selama tangan-tangan kalian bersma tangan-tangan kami, dan kai tidak akan memerangi kalian sampai kalian memerangi kami:“
Setelah mengumumkan penolakkannya terhadap keputusan dua hakim tersebut, Ali berangkat memimpin pasukan besar ke Syam untuk memerangi Mu‘awiyah. Disamping itu Ali mendapat berita bahwa kaum khawarij telah melakukan berbagai kerusakan di muka bumi, menumpahkan darah, memotong jalan-jalan umum, memperkosa wanita-wanita, bahkan membunuh Abdullah bin Khabab, seorang shabat Rasulullah saw dan istrinya yang sedang hamil. Akhirnya Ali dan orang-orang yang bersamanya khawatir, jika mereka pergi ke Syam sibuk memerangi Mu‘awiyah orang-orang khawarij akan membantai keluarga dan anak-anak keturuan mereka. Kemudian Ali dengan mereka sepakat untuk memrangi khawarij terlebih dahulu.
Ali dan pasukannya, termasuk di dalamnya padra sahabat, berangkat mendatangi mereka. Ketika sampai di dekat Mada‘in Ali mengirim surat kepada orang-orang khawarij di nahrawan yang isinya ,“Serahkan kepada kami para pembunuh saudarasaudara kami, supaya kami dapat mengqishash merkea kemudian setelah itu kami akan membiarkan kalian dan kami akan melanjutkan perjalanan ke Syam. Semoga Allah mengembalikan kalian kepada keadaan yang lebih baik dari keadaan kalian sekarang ini:“
Tetapi mereka membalas Ali dengan menyatakan ;“Kami semua adalah pembunuh saudara-saudara kalian! Kami menghalalkan darah mereka dan darah kalian.“ Setelah itu Ali maju menemu mereka kemudian menasehti dan memperingatkan mereka, tetapi mereka tidak memberikan jawaban selain dari suara bersahut-sahutan sesama mereka. Yang menyatakan siap perang dan menemu Rabbul alamin:!“
Sebelum memulai peperangan Ali memerintahkan kepada Abu Ayyub Al Anshari agar mengangkat panji keamanan untuk orang-orang khawarnj yang memberitahukan kepada mereka,“Siapa yang datang ke panji ini maka dia aman, barangsiapa yang pergi ke Kufah dan Mada‘in maka dia aman.“ Maka sejumlah besar dari mereka pun meninggalkan tmpat. Orang yang tetep bertahan diantara mereka hana sekitar 1000 orang yang dipimpin oleh Abdullah bin Wahab ar Rasyi. Orang-orang khawarijlah yang memulai pepernagna ini. Akhirnya mereka semua berhasil ditumpas. Sedangkan yang syahid dari pihak Ali hanya tujuh orang saja.
Berbagai situasi buruk nampaknya masih harus dihadapi oleh Amirul Mukminin Ali ra. Pasukannya mengalami kegoncangan. Sejumlah besar penduduk Oraq melakukan pembangkangan terhadapnya. Sementara masalah di Syam pun semakin meningkat. Mereka berpropaganda ke berbagai penjuru seperti dikatkaan oleh Ibnu Katsir, bahwa kepemimipin telah berpindah ke tangan Mu‘awiyah seseuai dengan keputusan dua hakim.
Para penduduk Syam semakin bertambah kuat, sementara para penduduk Iraq semakin bertambah lemah. Kendatipun mengetahui bawha Amir mereka adalah Ali, adalah ornag terbaik di muka bumi pada saat ini, orang yang paling zuhud, paling alim dan paling takut kepada Allah, tetapi mereka tega mengkhianatinya sampai membuatnya benci kehidupan dan mengharapkan kematian. Bahkan Ali sering mengatkan ;“Demi Allah yang membelah biji dan meniupkan ruh, sesungguhnya jenggot ini berubah karena kepala ini. Adakah kiranya sesuatu yang dapat menghentikan penderitaan ini?“
Abdur Rahman bin Muljim adalah salah seorang tokoh khawarij. Ia sedang melamar seorang wanita cantik bernama Qitham. Karena ayah dan saudara wanita ini terbunuh di peristiwa Nahrawan maka ia mensyaratkan kepada Abdur Rahman bin Muljim , jika ingin menikahinya, untuk membunuh Ali. Dengan gembira Abdur Rahman bin Muljim menjawab :“Demi Allah, aku tidak akan datang ke negeri ini kecuali untuk membunuh Ali.“ Setelah menjadi suami istri, wanita ini semakin keras menggerakkan suaminya untuk membunuh Ali.
Pada malam Jum‘at tanggal 17 Ramadhan tahun ke 40 Hijri. Abdur Rahman bin Muljim bersama dengan dua orang temannya mengincar Ali di depan pintu yang biasa dilewatinya. Dan seperti kebiasaannya Ali keluar membangunkanorang untuk shalat shubuh., tetapi ia dikejutkan oleh Ibnu Muljim yang memukul kepadanya dengan pedang sehingga darahnya mengalir di jenggotnya.
Setelah mengetahui bahwa ang melakuan tindakan ini adlah Ibnu Muljim maka Ali berkata kepada para sahabatnya ,“Jika aku mati maka bunuhlah dia tetapi jika aku hidup maka aku tahu bagaimana bertindak terhadapnya.“ Ketika sakratul maut, Ali tidak mengucapkan kalimat apapun selain La ilaha illallah. Beliau wafat ada usia 60 tahun.
Kekhalifahan Ali Bin Abi Thalib berlangsung selama lima tahun kurang tiga bulan. Ibnu Katsir menguatkan pendapat yang mengatakan bahwa Ali dikubur di Darul Imarah (rumah keamiran) di Kufah. Tetapi kebyanakan ahli Sejarah mengatakan bahwa kaum kerabat dan para pendukungnya menyembunyikan kuburannya. Karena khawatir terhadap tindakan kaum khawarij. Banyak sekali pendapat yang dikemukakan tentang tempat pemakamannya. Ada yang mengatakan baha ia dipindahkan ke Baqi atau dipindahkan ke tempat-tempat lain. Sedangkan Ibnu Muljim, pelaksana qishashnya di lakukan oleh Hasan RA, kemudian jasadnya di bakar dengan api.
Demikian tulisan mengenai Utsman Bin Affan, Biografi dan Kisahnya. Semoga bermanfaat.
Silahkan berkunjung ke laman sosial kami likehistory2 follow-us-on-twitter
# Referensi Sirah Nabawiyah Syekh Ramadhan Al-Buthi
# Referensi berbagai sumber