DDI Dalam Perkembangan (I)
Muktamar DDI ke-18
Muktamar DDI ke-18 pada bulan September 1998 di Wisma Darussalam, Makassar, dapat dipandang sebagai fase transisional yang strategis untuk mengikis polarisasi internal yang selama ini terasa dalam lingkugan DDI, dan juga momentum ini seharusnya ketika itu dapat pula digunakan oleh warga DDI untuk merumuskan langkah DDI ke depan. Momentum muktamar ke-18 ini cukup strategis, karena kalau tidak dimanfaatkan secara arif dan bijaksana, maka forum muktamar pertama pasca wafatnya Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle akan berpotensi menimbulkan konflik internal yang berkepanjangan dalam tubuh DDI.
Idealnya Muktamar ke-18 yang diadakan dua tahun setelah wafatanya Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle menjadi forum rekonsiliasi dan konsolidasi di kalangan warga DDI yang telah ditinggalkan oleh Gurutta. Justeru yang terjadi malah sebaliknya, dalam muktamar tampil kelompok H.M. Faried Wadjedy, M.A berusaha dengan gigih untuk mendominasi semua line yang tersedia dalam muktamar. Mula-mula kelompok ini berusaha menguasai semua unsur kepanitiaan muktamar yang ketika itu diketuai oleh Dr. Hamka Haq. Demikian juga siasat dalam persidangan diatur oleh Sekjen PB DDI hasil Muktamar DDI ke-17.
Menjelang pemilihan pengurus, K.H. Muh. Sanusi Baco Lc dan H.M. Aksa Mahmud mendatangi Abd. Muiz Kabry yang ketika itu sedang berada di salah satu kamar peserta muktamar yang dihuni oleh wakil dari Pesantren DDI Parepare. Kata mereka, kedatangannya atas suruhan K.H. Ali Yafie untuk menyampaikan konsepnya tentang pemilihan pengurus PB-DDI yang katanya akan mengikuti pola pemilihan pengurus ala Muktamar NU di Situbondo. Kalau pola ini diikuti, maka keputusan diserahkan kepada sesepuh DDI untuk menentukan kepengurusan PB-DDI periode 1998 – 2003.
Merespon konsepsi yang disampaikan oleh kedua utusan K.H. Ali Yafie itu, Abd. Muiz Kabry menjawab bahwa, “konsep itu dapat saja dilakukan sejauh peserta muktamar menyepakati untuk memberlakukan sistem itu dalam muktamar DDI yang sekarang ini”. Tidak lupa juga Abd. Muiz Kabry secara pribadi menyampaikan kepada kedua utusan itu bahwa, “sistem tersebut tidak mentradisi di DDI, sebab sejak Musyawarah Alim Ulama se-Sulawesi Selatan pada tahun 1947 dan Muktamar DDI ke-1 hingga Muktamar ke-17, senantiasa kepengurusan, khususnya ketua umum dan ketua majelis pembina, dipilih secara langsung oleh peserta muktamar.
Tarik ulur antara Abd. Muiz Kabry dengan kedua orang utusan K.H. Ali Yafie menyangkut sistem pemilihan pengurus tidak berujung pada kata sepakat. Karena itu, yang disepakati oleh mereka bertiga adalah ketiganya secara bersama-sama pergi menemui K.H.M. Ali Yafie di Hotel Sahid guna membicarakan lebih lanjut cara terbaik dalam pemilihan pengurus. Setiba di Hotel, seraya H.M. Aksa Mahmud melaporkan hasil pertemuannya dengan Abd. Muiz Kabry, juga menyampaikan keinginan Abd. Muiz Kabry bertemu langsung dengan beliau.
Rupanya K.H. Ali Yafie tidak keberatan ditemui oleh Abd. Muiz Kabry, dan sekaligus mendiskusikan tentang mekanisme pemilihan pengurus. Bahkan, dalam pertemuan di Hotel Sahid itu K.H. Ali Yafie meminta pendapat pribadi Abd. Muiz Kabry tentang cara pemilihan pengurus. Berdasarkan permintaan ini, Abd. Muiz Kabry melontarkan idenya, katanya, “sebaiknya pemilihan langsung dilakukan untuk posisi Ketua Majelis Pembina, karena dapat dipastikan yang akan terpilih adalah al-Mukarram K.H.M. Ali Yafie sebagai sesepuh DDI, dan untuk Ketua Umum dan Sekjen sebaiknya diserahkan kepada para muktamirin”.
Menyimak ide yang disampaikan oleh Abd. Muiz Kabry, al-Mukarram K.H. Ali Yafie memberi petunjuk, katanya, “agar yang dipilih cukup Ketua Majelis Pembina dan Ketua Umum PB-DDI, dengan syarat kalau Abd. Muiz Kabry terpilih sebagai ketua umum, maka hendaknya posisi wakil ketua umum seharusnya diduduki oleh H. M. Faried Wadjedy, M.A. Sebaliknya, kalau Faried Wadjedy yang terpilih sebagai ketua umum, maka Abd. Muiz Kabry sebagai wakil ketua umum. Abd. Muiz Kabry nyeletuk, “saya tidak mesti duduk dalam kepengurusan PB-DDI. Meskipun sebagai anggota bisa, saya berjanji akan tetap membantu pengurus terpilih”.
Maksud baik dari petunjuk al-Mukarram K.H. Ali Yafie tentang mekanisme pemilihan pengurus kemudian disanggah oleh Dr. Saleh Ali, MSc, Sekjen PB DDI, yang juga turut hadir dalam pertemuan tersebut, katanya, “bahwa mekanisme pemilihan yang disepakati oleh panitia adalah diserahkan kepada sesepuh DDI untuk memilih pengurus”. Pernyataan Sale Ali ini dijawab langsung oleh al-Mukarram bahwa, “cara seperti itu nanti waktu lain digunakan”. Tidak lama setelah itu, dengan sedikit kesal Saleh Ali pun meninggalkan pertemuan di Hotel Sahid itu, dan bersama Hamka Haq, ketua panitia muktamar, langsung mempersiapkan proses pemilihan Pengurus PB-DDI, dengan menampilkan dua kandidat ketua umum, yakni: K.H. Muh. Sanusi Baco, Lc dan H.M. Faried Wadjedy, M.A. Katanya, kedua kandidat inilah yang direstui oleh al-Mukarram K.H. Ali Yafie.
Sementara itu, pertemuan di Hotel Sahid masih berlangsung dengan menghadirkan H. M. Faried Wadjedy, M.A untuk diberitahu tentang konsep pemilihan pengurus yang sesuai petunjuk al-Mukarram. Mendengar konsep ini, mungkin dinilai dapat merugikan dirinya, maka Faried Wadjedy mengusulkan, “sebaiknya pada pemilihan ketua umum saudara Abd. Muiz Kabry tidak diikutkan sebagai kandidat, karena akan menghalangi kesempatan orang lain”. Usul ini ditimpali oleh al-Mukarram K.H. Ali Yafie bahwa, “dalam berdemokrasi atau bermusyawarah tidak boleh dibatasi hak orang”.
Sesuai petunjuk al-Mukarram K.H. Ali Yafie rapat pleno terakhir muktamar dilangsungkan dengan agenda pemilihan pengurus. Dalam pemilihan, secara aklamasi terpilih al-Mukarram K.H.Muh. Ali Yafie sebagai ketua umum majelis pembina. Ada pun perolehan suara untuk ketua umum, yang menampilkan hanya dua kandidat, adalah: Abd. Muiz Kabry dengan perolehan suara sebanyak 175 suara, sedangkan H.M. Faried Wadjedy, M.A memperoleh dukungan suara sebanyak 75 suara. Dengan demikian, mengikuti petunjuk al-Mukarram K.H. Ali Yafie tentang mekanisme pemilihan pengurus, maka orang yang terpilih dan harus menjadi ketua umum PB DDI 1998 – 2003 adalah Dr.H. Abd. Muiz Kabry, sedangkan H.M. Faried Wadjedy, M.A harus pula diposisikan sebagai wakil ketua umum.
Pengurus yang terbentuk pasca Muktamar ke-18 menyadari posisi historisnya sebagai masa transisi dari pola kepemimpinan kharismatik di bawah kepemimpinan mendiang Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle ke pola kepemimpinan rasional di bawah kepemimpinan Abd. Muiz Kabry. Menyadari posisi historis ini, maka pengurus segera mengeluarkan beberapa regulasi yang diharapkan dapat menjadi landasan rasional bagi organisasi DDI untuk semakin berkembang ke depan. Di antara regulasi yang dimaksud, misalnya: SK PB-DDI Nomor: 01 tahun 1999 tentang Pedoman Surat Menyurat/Atribut Organisasi dan Madrasah/Sekolah DDI, SK PB-DDI Nomor: 04 tahun 1999 tentang Pedoman Dasar Penyelenggaraan Lembaga Pendidikan Madrasah/Sekolah DDI, Peraturan PB-DDI Nomor: 02 tahun 1999 tentang Pedoman Dasar Pendirian dan Pengelolaan Pondok Pesantren DDI, Peraturan PB-DDI Nomor: 03 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Musyawarah Wilayah, Daerah, Cabang, Ranting DDI, juga PB-DDI telah mengeluarkan peraturan Nomor: 01 tentang Pedoman Pendirian, Pengembangan, dan Pengelolaan Perguruan Tinggi dalam Lingkungan Organisasi DDI.
====
silahkan like FB Fanspage ponpesalbadar dan follow twitter @ponpesalbadar
====