DDI Dalam Perkembangan (II)
Muktamar DDI Ke-19
Muktamar DDI ke-19 berlangsung pada tanggal 27-30 September 2003 yang pembukaannya dilaksanakan di Lapangan Karebosi, Makassar, dibuka oleh Wakil Presiden RI, Dr. H. Hamzah Haz. Pada acara pembukaan ini turut hadir Duta Besar Kerajaan Inggris, Richard Gozny, Bank Pembangunan Asia, perwakilan DDI di Timur Tengah, gubernur Sulawesi Selatan, dan seluruh muspida tingkat I Sulawesi Selatan dan tingkat II Kota Makassar, juga turut hadir pimpinan-pimpinan organisasi politik/keagamaan tingkat I Sulawesi Selatan. Warga dan simpatisan Darud Da’wah Wal Irsyad (DDI) yang turut meramaikan pembukaan ini ada sekitar 50.000 orang.
Sejak berdirinya, baru kali ini DDI sempat dan berani mengadakan pembukaan muktamar di Lapangan Karebosi. Ada pun pelaksanaan sidang-sidang muktamar dilangsungkan di Asrama Haji Sudiang, Makassar, dengan dihadiri peserta muktamar sekitar 1.500 orang dari seluruh pengurus wilayah, pengurus daerah, pengurus cabang, perguruan tinggi DDI, pimpinan pondok pesantren DDI, kepala madrasah/sekolah, dan pimpinan badan otonom, mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dalam beberapa sidang muktamar turut dihadiri oleh beberapa undangan tertentu, misalnya narasumber untuk agenda tertentu.
Adu argumentasi antar muktamirin dalam semua persidangan berlangsung dengan cukup dinamis. Dinamika yang cukup kondusif ini berlangsung dalam sidang-sidang yang membicarakan mengenai program dan hal-hal yang berkaitan dengan rencana pembinaan dan pengembangan Trilogi DDI pada masa depan.
Situasi muktamar agak memanas justeru menjelang pemilihan Majelis Pengurus Harian dan Majelis Pembina PB-DDI. Menjelang muktamirin memilih Ketua Majelis Pembina dan Ketua Umum Mejelis Pengurus Harian, muncul kembali skenario kelompok H.M. Faried Wadjedy, M.A. yang menginginkan agar Abd. Muiz Kabry tidak ikut dalam pencalonan. Memperhatikan bahwa muktamar ini dilangsungkan menjelang Pemilu 2004, maka tujuan akhir dari skenario ini dapat ditebak, tidak jauh dari kepentingan politik orang tertentu atau kelompok tertentu. Alur skenario ini menginginkan tampilnya orang tertentu yang secara kultural diharapkan dapat mempengaruhi warga dan massa DDI untuk mendukung kepentingan politik dari tokoh-tokoh politik tertentu. Warga dan simpatisan DDI di Sulawesi Selatan diperkirakan lebih dari separuh pemegang hak pilih di provinsi ini, karenanya memang cukup signifikan untuk dijadikan penyumbang suara bagi tokoh politik tertentu. Tentu tidak dapat dipersalahkan kalau tujuan skenario ini adalah bersifat politis, yang mesti dipertimbangkan, kalau tidak dapat menghalangi, adalah jangan sampai kelembagaan dan simbol-simbol DDI dipakai untuk tujuan-tujuan politik. Menggeser dan menarik kelembagaan DDI ke arena politik praktis adalah sebuah pengingkaran sejarah DDI. Selama kepemimpinan Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle berkali-kali beliau “digoda” untuk menggunakan kelembagaan DDI di arena politik, tetapi sampai akhir hayatnya beliau senantiasa memisahkan antara kelembagaan DDI dengan aspirasi politiknya secara pribadi.
Agar skenario kelompok Faried Wadjedy dapat berjalan sebagaimana yang mereka rencanakan, maka kelompok ini mengutus Aksa Mahmud, K.H. M. Sanusi Baco, Lc, dan melibatkan Kepala Kanwil Depag Sulawesi Selatan, Drs.H. Iskandar Idy, M.Ag, untuk menyampaikan kepada Abd. Muiz Kabry yang ketika itu sedang berada di salah satu kamar yang terdapat di gedung I Asrama Haji, Sudiang, dengan menyampaikan kiranya Abd. Muiz Kabry menolak jika dicalonkan menjadi ketua umum pengurus harian PB-DDI. Merespon pernyataan ketiga orang ini, Abd. Muiz Kabry mengatakan bahwa, “bahwa belum ada yang meminta saya untuk dicalonkan, sebab memang belum ada pencalonan”. Lanjut Abd. Muiz Kabry, “sejak awal keberadaan saya di DDI adalah berniat untuk membina dan mengembangkan DDI, bukan untuk memperoleh kekuasaan dalam struktur kepengurusan atau mendapat fasilitas dari DDI”. Pada beberapa kesempatan, Abd. Muiz Kabry menyatakan bahwa, “selama dia mendampingi al-Mukarram Gurutta K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle dari tahun 1975 sampai 1993 dalam mengurus DDI, seingatnya, belum pernah sekali pun dia diberi uang sebesar satu sen pun oleh al-Mukarram, dan selama tidak menduduki jabatan apa pun dalam kepengurusan PB-DDI periode 1993-1997 dia tetap membantu K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle dan senantiasa melibatkan diri dalam membina DDI sama ketika masih menjadi pengurus, hanya saja dalam peranan yang berbeda”.
Menjelang dilangsungkannya pemilihan ketua umum majelis pengurus harian, utusan dari beberapa daerah bersama Drs. K.H. M. Busaeri Juddah mendatangi Abd. Muiz Kabry dengan meminta kesediannya untuk dipilih untuk periode kedua. Semula Abd. Muiz Kabry nyatakan tidak bersedia lagi, karena sebelumnya telah ada utusan yang menyatakan bahwa calonnya akan terhambat jika Abd. Muiz Kabry mencalonkan diri dalam pemilihan. Namun demikian, kehadiran K.H. M. Busaeri Juddah dan keinginan mayoritas dari peserta mendesak agar Abd. Muiz Kabry menerima kalau dipilih lagi menjadi ketua umum, maka ketika itu Abd. Muiz Kabry dengan terpaksa menyatakan bersedia dengan syarat, “ketua umum majelis pengurus harian sebaiknya hanya dapat dijabat oleh orang yang sama selama dua periode kepengurusan berturut-turut, dan pensyarakatan ini harus dicantumkan dalam AD/ART DDI”. Usul ini dapat diterima oleh muktamirin dibuktikan dengan dicantumkannya dalam salah satu pasal AD/ART DDI. Konsekuensi logisnya, Abd. Muiz Kabry harus mencalonkan diri dengan memenuhi pensyaratan yang ditetapkan muktamirin. Abd. Muiz Kabry dapat dipastikan terpilih kembali untuk periode kedua sebagai ketua umum pengurus harian PB DDI setelah melihat selisih perolehan suara dari masing-masing calon, sebagai berikut: Abd. Muiz Kabry mendapat dukungan suara sebanyak 198 suara, H.M. Rusydi Ambo Dalle mendapat suara sebanyak 38 suara, K.H. M. Sanusi baco, Lc mendapat sumbangan suara sebesar 18 suara, Aksa Mahmud mendapat dukungan suara sebanyak 15 suara, sedangkan H.M. Faried Wadjedy, M.A hanya mendapat dukungan 2 suara.
====
silahkan like FB Fanspage ponpesalbadar dan follow twitter @ponpesalbadar
====