Ke Syam, Usaha Pertama Rasulullah Mencari Rezeki
Ketika berusia dua belas tahun, Rasulullah saw. diajak pamannya, Abu Thalib, pergi ke Syam dalam suatu kafilah dagang. Sewaktu kafilah berada di Bashra, mereka melewati seorang pendeta bernama Bahira. Ia adalah seorang pendeta yang banyak mengetahui Injil dan ahli tentang masalah-masalah kenasranian.
Bertemu Pendeta Nasrani
Bahira kemudian melihat Nabi saw., mengamatinya dan mulai mengajaknya bicara. Bahira kemudian menoleh pada Abu Thalib dan menanyakan kepadanya: “Apa status anak ini di sisimu?” Abu Thalib menjawab: “Anakku [Abu Thalib memanggil Nabi Muhammad saw. dengan panggilan anak karena kecintaan yang mendalam].” Bahira bertanya: “Dia bukan anakmu. Tidak sepatutnya ayah anak ini masih hidup.” Abu Thalib berkata: “Dia adalah anak saudaraku.” Bahira bertanya: “Apa yang telah dilakukan oleh ayahnya?” Abu Thalib menjawab: “Ia meninggal ketika ibu anak ini mengadungnya.” Bahira berkata: “Anda benar. Bawalah ia pulang ke negerinya dan jagalah dia dari orang-orang Yahudi. Jika mereka melihatnya disini, pasti akan dijahatinya. Sesungguhnya anak saudaramu ini akan memegang perkara besar.” Abu Thalib kemudian cepat-cepat membawanya kembali ke Makkah (diringkas dari Sirah Ibnu Hisyam, 1/80; diriwayatkan oleh Thabrani di dalam Tarikh-nya: 2/287; Baihaqi dalam Sunan-nya; dan Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah. Di antara riwayat-riwayat itu terdapat sedikit perbedaan menyangkut beberapa rincian).
Rasulullah SAW Pada Masa Remaja
Memasuki masa remaja, Rasulullah saw. berusaha mencari rizky dengan menggembalakan kambing. Rasulullah saw. pernah bertutur tentang dirinya: “Aku dulu menggembalakan kambing penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari)
Selama masa mudanya Allah telah memelihara dari penyimpangan yang biasanya dilakukan oleh para pemuda seusianya, seperti hura-hura dan permainan nista lainnya.
Bertutur Rasulullah saw. tentang dirinya: “Aku tidak pernah menginginkan sesuatu yang biasa mereka lakukan di masa jahiliyah kecuali dua kali. Itupun kemudian dicegah oleh Allah. Setelah itu aku tidak pernah menginginkannya sampai Allah memuliakan aku dengan risalah. Aku pernah berkata kepada seorang teman yang menggembala bersamaku di Makkah: “Tolong awasi kambingku karena aku akan memasuki kota Makkah untuk begadang sebagaimana para pemuda.” Kawan tersebut menjawab: “Lakukanlah.” Aku lalu keluar.
Ketika aku sampai di rumah pertama di Makkah, aku mendengar nyanyian, lalu aku berkata: “Apa ini?” mereka berkata: “Pesta.” Aku lalu duduk mendengarkannya. Allah kemudian menutup telingaku lalu aku tertidur dan tidak terbangunkan kecuali oleh panas matahari. Aku kemudian kembali kepada temanku lalu ia bertanya kepadaku dan akupun mengabarkannya. Pada malam yang lain, aku katakan kepadanya sebagaimana malam pertama. aku pun masuk ke Makkah lalu mengalami kejadian sebagaimana malam terdahulu. Setelah itu aku tidak pernah lagi menginginkan keburukan.” (diriwayatkan oleh Ibnu Atsir dan Hakim dari Ali bin Abi Thalib. Hakim berkata tentang riwayat ini: “Periwayatan ini sesuai dengan syarat Muslim.” Diriwayatkan oleh Thabrani dari hadits Ammar bin Yasir.)
Pelajaran yang terkandung dari kisah diatas mencakup beberapa hal :
- Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani memiliki pengetahuan tentang bi’tsah Nabi dengan mengetahui tanda-tandanya. Ini mereka ketahui dari berita kenabiannya serta penjelasan tentang tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam Taurat dan Injil. Dalil tentang ini banyak sekali.
- Orang-orang Yahudi memohon kedatangan Rasulullah saw. [sebelum bi’tsah] untuk mendapatkan kemenangan atas kaum Aus dan Khazraj, dengan mengatakan: “Sesungguhnya, sebentar lagi akan dibangkitkan seorang Nabi yang kami akan mengikutinya. Lalu kami bersamanya akan membunuh kalian sebagaimana pembunuhan yang pernah dialami kaum ‘Aad dan Iram.” Ketika orang-orang Yahudi mengingkari janjinya, Allah menurunkan firman-Nya yang artinya: “Dan setelah datang kepada mereka al-Qur’an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon [kedatangan Nabi] untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah atas orang-orang yang ingkar itu.” (al-Baqarah: 89).
Al-Qurthubi dan lainnya meriwayatkan bahwa ketika turun firman Allah yang artinya: “Orang-orang [Yahudi dan Nasrani] yang telah Kami beri al-Kitab [Taurat dan Injil] mengenal Muhammad seperti mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya sebagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka mengetahui.” (al-Baqarah: 146)
‘Umar Ibnu al-Khaththab bertanya kepada Abdullah bin Salam [seorang ahli Kitab yang telah masuk Islam]: “Apakah kamu mengetahui Muhammad saw. sebagaimana kamu mengetahui anakmu?” Ia menjawab: “Ya. Bahkan lebih banyak. Allah mengutus [malaikat] kepercayaan-Nya di langit kepada [orang] kepercayaan-Nya di bumi dengan sifat-sifatnya, lalu saya mengetahuinya. Adapun akan saya maka saya tidak mengetahui apa yang telah terjadi dari ibunya.”
Bahkan keislaman Salman al-Farisi juga disebabkan karena ia telah melacak berita Nabi Muhammad SAW dan sifat-sifatnya dari Injil, para pendeta, dan ulama al-Kitab. Ini tidak dapat dinafikan oleh banyaknya para Ahli Kitab yang mengingkari adanya pemberitaan tersebut atau oleh tidak adanya isyarat penyebutan Rasulullah saw. di dalam Injil yang beredar sekarang ini. Hal ini karena terjadinya pemalsuan dan perubahan secara beruntun pada kitab-kitab tersebut telah diketahui dan diakui semua pihak. Mahabesar Allahyang berfirman di dalam Kitab-Nya: “Dan di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab [Taurat], kecuali dongengan bohong belaka, dan mereka hanya menduga-duga. Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakan: ‘Ini dari Allah.’ [dengan maksud] untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang ditulis oleh tangan mereka sendir, dan kecelakaan besarlah bagi mereka karena apa yang mereka kerjakan.” (al-Baqarah: 78-79)
Beberapa pelajaran terkait usaha Rasulullah SAW mencari rezki :
- Begitu merasakan kemampuan untuk bekerja, Rasulullah SAW melakukannya dan berusaha sekuat tenaga untuk meringankan sebagian beban nafkah dari pamannya. Barangkali hasil yang diperolehnya tidak begitu banyak dan penting bagi pamannya, tetapi ini merupakan akhlak yang mengungkapkan rasa syukur, kecerdasan watak dan kebaikan perilaku.
- Sangatlah mudah bagi Allah mempersiapkan Nabi Muhammad sejak awal kehidupannya, segala sarana kehidupan dan kemewahan yang dapat mencukupi sehingga tidak perlu lagi memeras keringat menggembalakan kambing. Akan tetapi hikmah ilahi menghendaki agar kita mengakui bahwa harta manusia yang terbaik adalah harta yang diperolehnya dari hasil usaha sendiri dan imbalan “pelayanan” yang diberikan kepada masyarakat dan saudaranya. Sebaliknya harta yang terburuk adalah harta yang didapatkan seseorang tanpa bersusah payah atau tanpa imbalan kemanfaatan yang diberikan kepada masyarakat.
- Para aktifis dakwah [dakwah apa saja] tidak akan dihargai manakala mereka menjadikan dakwah sebagai sumber rezkinya atau hidup dari mengharapkan pemberian dan sedekah orang.
Karena itu para aktifis dakwah Islam merupakan orang yang paling patut untuk mencari ma’isyah [nafkah]-nya melalui usahanya sendiri atau sumber yang mulia yang tidak mengandung unsur meminta-minta, agar mereka tidak “berhutang budi” kepada seseorang pun yang menghalanginya dari menyatakan kebenaran di hadapan “investor budi.”
Demikian sekilas mengenai Perjalanan pertama Rasulullah SAW ke Syam dalam rangka mencari rezeki. Semoga menjadi panutan bagi kita umatnya.
Silahkan berkunjung ke laman sosial kami
#Rujukan : Sirah Nabawiyah Syekh Ramadhan Al-Buthi