Perang Mu’tah (bahasa Arab: معركة مؤتة , غزوة مؤتة) terjadi pada 629 M atau 5 Jumadil Awal 8 Hijriah), dekat kampung yang bernama Mu’tah, di sebelah timur Sungai Yordan dan Al Karak, antara pasukan Khulafaur Rasyidin yang dikirim oleh Nabi Muhammad dan tentara Kekaisaran Romawi Timur (Bashra).
Rasulullah saw berpesan kepada mereka : Yang bertindak sebagai Amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsa. Jika Zaid gugur, Ja‘far bin Abu Thaalib penggantinya, bila Ja‘far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Dan jika Abdullah bin Rawahah gugur maka hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya.“ Selanjutnya Nabi saw mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya di sana mereka mengajak kepada Islam dan jika mereka menolak langsung menyerang dengan meminta pertolongan Allah.
Ibnu Ishaq berkata : Rasulullah saw bersama beberapa sahabatnya mengucapkan selamat jalan kepada semua pasukan dan para komandan mereka ketika keluar dari Madinah. Pada saat itu Abdullah bin Rawahah menangis tersedu-sedu. Orang-orang kemudian bertanya :“Apa yang menyebabkan anda menangis?“ Ia menjawab: “Demi Allah, bukan karena saya cinta dunia juga bukan karena perpisahan dengan kalian , tetapi aku pernah mendengar Rasulullah saw membaca salah satu ayat al-Quran yang menyebutkan nereka :“ Dan tidak ada seorang pun di antaramu, melainkan mendatangi nereka itu. Hal itu bagi Rabb-mu adalah suatu kepastian ynag sudah ditetapkan.“ (QS Maryam 71 )
Aku tidak tahu apakah akan kembali setelah mendatanginya. Keitka pasukan itu berangkat, kaum Muslimin mengucapkan do‘a :“Semoga Allah menyertai kalian, melindungi kalian, dan mengembalikan kalian pulang dalam keadaan baik-baik.“
Kemudian Abdullah bin Rawahah mengatakan : Tetapi aku memohon ampunan kepada ar-Rahman dan tebasan pedang yang mengakhiri kehidupan atau lemparan tombak ke arah dada menembus lambung dan jantung Agar orang yang menziarahi pusaraku berdo‘a Semoga Allah melimpahkan petunjuk dan karunia-Nyqa kepada orang yang telah berperang.
Setelah kaum Muslimin bergerak meninggalkan Madinah, musuhpun mendengar keberangkatan mereka, kemudian mempersiapkan pasukan besar guna menghadapi kekuatan kaum Muslimin. Heraclius mengerahkan lebih dari 100.000 tentara Romawi sedangkan Syurahbil bin Amer mengerahkan 100.000 tentara yang terdiri dari kabilah Lakham, Juzdan, Qain dan Bahra‘.
Mendengar berita ini, kaum Muslimin kemudian berhenti selama dua malam di daerah bernama Muan guna merundingkan apa yang seharusnya dilakukan. Beberapa orang diantaranya berpendapat : „Sebaiknya kita menulis surat kepada Rasulullah saw melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan kita dengan pasukan yang lebih besar lagi, atau memerintahkan sesuatu yang harus kita lakukan.
Tetapi Abdullah bin Rawahah tidak menyetujui pendapat tersebut. Bahkan ia mengobarkan semangat pasukan dengan ucapan berapi-api : „Hai saudara-saudara, kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan kita berangkat ke medan perang ini! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah pasukan atau besarnya kekuatan, tetapi semata-mata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah kepada kita. Karena itu marilah kita maju ! Tidak ada pilihan lagi kecuali salah satu dari dua kebajikan : Menang atau mati syahid.
Pasukan kedua belah pihak bertemu di Kirk. Dari segi jumlah personil dan senjata, kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan kaum Muslimin. Zaid bin Haritsah bersama kaum Muslimin bertempur menghadapi musuh hingga ia gugur di ujung tombak musuh, kemudian Ja‘far mengambil alih panji peperangan dan maju menerjang musuh dengna berani. Di tengah sengitnya pertempuran ia turun dari kudangnya lalu membunuh, melesat menerjang pasukan Romawi seraya bersyair : Alangkah dekatnya surge Harumnya semerbak dan segar minumannya
Kita hujamkan siksa ke atas orang-orang Romawi yang kafir nun jauh nasabnya Pastilah aku yang memeranginya Ia terus bertempur sampai tertebas oleh pedang orang Romawi yang memotong tubuhnya menjadi dua. Di tubuhnya terdapat lima puluh tusukan, semuanya di bagian depan.
Kemudian panji peperangan diambil alih oleh Abdullah Rawahah. Ia maju memimpin pertempuran seraya bermadah : Wahai jiwa, engkau harus terjun dengan suka atau terpaksa Musuh-musuh telah maju ke medan laga Tidakkah engkau rindukan surga. Telah lama engkau hidup tenang. Engkau hanya setetes air yang hina Ia terus bertempur sampai gugur menjadi syahid. Kemudian kaum Muslimin menyepakati Khalid bin Walid sebagai panglima perang. Ia kemudian menggempur musuh hingga berhasil memukul mundur. Pada saat itulah Khalid mengambil langkah strategis menarik tentaranya ke Madinah.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin mendengar berita tewasnya tiga panglima perang mereka, Rasulullah saw menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja‘far dan Ibnu Rawahah kepada mereka kemudian bersabda :“Zaid memegang panji kemudian gugur. Panji itu diambil oleh Ja‘far dan iapun gugur, Panji itu diambil oleh ibnu Rawahah ia pun gugur pula …“ Saat itu beliau meneteskan air mata seraya melanjutkan sabdanya :“ ..akhirnya panji itu diambil oleh „pedang Allah“ (Khalid bin Walid) dan akhirnya Allah mengaruniainya kemenangan kepada mereka (kaum Muslimin)“
Dapat disimpulkan bahwa Khalid bin Walid mengatur strategi dengan membawa mundur kaum Muslimin dan bertahan. Kemudian keesokkan harinya ia mulai mengubah posisi pasukan, yang tadinya di sayap kanan dipindahkan ke sayap kiri dan sebaliknya, untuk memberikan kesan kepada musuh kaum Muslimin mendapat bala bantuan. Kemudian Khalid menyerang mereka dan berhasil memukul mundur, tetapi Khalid tidak mengejar mereka dan melihat kembalinya kaum Muslimin (ke Madinah) merupakan pampasan yang sangat besar“.
Menjelang masuk kota Madinah, mereka disambut oleh Rasulullah saw dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka. Rasulullah saw bersabda : Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikanlah kepadaku anak Ja‘far. Kemudian dibawalah Abdullah bin Ja‘far dan digendong oleh Nabi saw. Orang-orang meneriaki dengan ucapan: „Wahai orang-orang yang lari ! Kalian lari di jalan Allah“.”Tetapi Rasulullah saw membantah : „Mereka tidak lari (dari medan perang) tetapi mundur untuk menyerang kembali insya Allah“.
Pelajaran Dari Perang Mu’tah
Beberapa hal yang dapat dipetik sebagai pelajaran dari terjadinya perang mu’tah, antara lain :
- Apabila seorang khalifah telah melakukan pengangkatan beberapa Amir maka pengangkatan semuanyanya dinyatkan sah dalam waktu yang sama sekali secara serentak, tetapit idak dilaksanakan kecuali sesuatu urutan.
- Disyariatkan ijtihad kaum Muslimin dalam memilih Amir mereka, apabila Amir mereka tidak ada (meninggal). Atau seorang Khalifah menyerahkan pemilihannya kepada mereka.
- Nabi saw menyampaikan berita gugurnya, Zaid, Ja‘far dan Ibnu Rawahah kepada para sahabatnya seraya kedua matanya meneteskan air mata, padahal jarak antara Nabi saw dan pasukan kaum Muslimin sangat jauh. Ini menunjukkan bahwa Allah telah melipat bumi untuk Nabi-Nya, sehingga beliau bisa melihat keadaan kaum Muslimin yang sedang berperang di perbatasan Syam dan peristiwa-peristiwa yang dialami para sahabatnya.
- Khalid ra telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhri meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata :“Dalam perang Mu‘tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman“. Ibnu Hajar berkata :Hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh mereka. Ketika ucapan kaum Muslimin kepada pasukan mereka ketika kembali ke Madinah .“Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari di jalan Allah“, adalah karena mereka tidak mengejar terus orang-orang Romawi yang sudah kalah itu dan meninggalkan daerah yang telah direbut melalui peperangan, sebab hal semacam ini tidak lumrah di kalangan mereka dalam peperangan-peperangan yang lain. Khalid menilai cukup sampai sebatas itu saja kemudian kembali ke Madinah. “Mereka tidak lari (dari medan perang) tetapi mereka mundur untuk menyerang balik insya Allah“.
Demikian sekilas mengenai Kisah Perang Mu’tah. Semoga bermanfaat.
Silahkan berkunjung ke laman sosial kami