Sudah lumrah dalam kaidah akidah bahwa setiap orang mukallaf ( orang yang sudah menginjak dewasa / baligh dan mempunyai akal ) wajib mengetahui ( ma’rifat ) terhadap sifat-sifat wajib, mustahil ,dan jaiz bagi Allah serta para utusannya, karena dengan mengetahui semua itu dapat mengantarkan dia menjadi mukmin sejati ( mukmin muhaqqiq), mukmin yang benar-benar memperkokoh keimanannya.
Dalam redaksi di atas, penulis sengaja menggunakan kata “ ma’rifat ( mengetahui )” di dalam memaparkan kewajiban bagi seorang mukallaf, hal itu mengindikasikan bahwa yang menjadi keharusan bagi mereka di dalam ediologi keimanan adalah ma’rifat ( mengetahui ).
Dalam kitab Ad-Dasuqi A’la Ummil Barahin di jelaskan bahwa yang di maksud ma’rifat adalah keyakinan hati yang sesuai dengan kenyataan yang di dasari dengan argumentasi ( dalil ) yang relevan. Dari definisi ini dapat di ambil sebuah pemahaman bahwa bertaklid ( ikut-ikutan ) itu tidak cukup dalam memenuhi kewajiban keimanan, sebab definisi taklid ( ikut-ikutan ) itu sendiri adalah keyakinan hati dalam aqidah keimanan yang tidak di dasari dengan argumentasi ( dalil ) yang relevan, sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Syekh Muhammad bin Yusuf As-Sanusi.
Dari sinilah jumhur ahlil ilmi seperti Syekh Abi Hasan Al-Asyari, qodhi Abi Bakar Al-Baqilani, dan Imam Al-Haromain berpendapat tentang tidak cukupnya taklid dalam idiologi keimanan, dalam arti bukan sebagai solusi untuk keluar dari lingkup dosa kafir ataupun maksiat.
Mengenai keimanan seseorang yang di peroleh melalui jalan taklid ( ikut-ikutan ) , mayoritas ulama ( pakar teologi ) masih berselisih pendapat, diantaranya :
- Muqollid ( orang yang bertaklid ) masih berstatus mukmin , hanya saja dia bermaksiat sebab meninggalkan kewajiban ma’rifat yang merupakan buah hasil dari pemikiran yang benar ( nazhor sahih ) karena ma’rifat itu bermula dari berfikir.
- Muqollid ( orang yang bertaklid ) masih berstatus mukmin serta tidak di anggap bermaksiat kecuali bagi muqollid ( orang yang taklid ) yang memiliki kredibilitas untuk nazhor sahih ( berfikir benar ).
- Muqollid ( orang yang bertaklid ) tidak berstatus mukmin. Pendapat banyak mendapat pertentangan dari para pakar teologi lain.
Begitulah mayoritas ulama ( pakar teologi ) berselisih pendapat mengenai setatus keimanan para muqollid ( orang yang ikut-ikutan ). semoga bermanfaat……..
ditulis oleh : Ust Jamil Fuadi