Khitan Perempuan – Pengertian, Cara, dan Hukum
Pengertian Khitan Perempuan
Khitan perempuan adalah terjemahan dari bahasa Arab ختان الأنثى atau ختان البنات ( khitan anak perempuan).
Dan dikatakan juga خفض البنات ( khitan perempuan menurunkan kepekaan alat kelamin perempuan). Karena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksualnya) dimasa remaja dapat terkendalikan.
Tetapi Al-Mawardhy merumuskan definisi khitan perempuan sebagai berikut:
ختان الأنثى قطع الجلدة الّتى تكون فى اعل العضو كالنّوات اوكعرف الدّيك, والواجب قطع الجلدة المستعلية منه دون استئصاله.
Artinya:
“ khitan perempuan adalah memotong kulit yang paling atas pada alat kelamin yng berbentuk seperti biji-bijian, atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewajiban adalah memotoong kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan potongannya”.
Dari definisi khitan perempuan tersebut, dapat ditarik pemahaman bahwa syarat utama dalam khitan perempuan adalah cukup dengan memotong sedikit alat kelamin tersebut (clitoris) pada definisi di atas sampai berdarah, dan tidak perlu membuangnya.
Tata cara pelaksanaan khitan perempuan
Berbagai macam cara melaksanakan khitan perempuan disetiap daerah dan suku diseluruh Indonesia, yang pada prinsipnya tidak berbeda dengan cara pelaksanaanya yang telah ditempuh oleh para sahabat nabi; yaitu memotong sedikit alat kelamin tertentu sampai berdarah. Dimasyarakat Jawa dan Madura misalnya khitan perempuan ketika masih bayi, yang dilakukan oleh Dukun atau Bidan, ketika anak itu berumur 7-40 hari. Tetapi masyarakat sulawesi mempunyai cara lain: yaitu khitan perempuan bersamaan waktunya dengan upacara khataman Al-Qur’an. Dan yang bertugas menghitankan adalah dukun, dan juga biasanya guru yang pernah mengajarkan mengaji sampai tamat.
Hukum Khitan Perempuan
Sebenarnya, ajaran khitan adalah warisan dari ajaran Nabi Ibrahim AS yang turun temurun, dianut oleh ummat-ummat sesudahnya sampai dikuatkan lagi dalam ajaran Islam, sehingga menjadi ajaran yang harus dianut oleh ummat Islam. Keterangan tentang ajaran khitan yang bersumber dari Nabi Ibrahim, dikemikakan dalam beberapa riwayat, yaitu:
وَرُوِىَ اَنَّ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ اِخْتَتَنَ بِا لْقُدُوْمِ.
Artinya:
“dan diriwayatkan bahwa Nabi Ibrahim AS dikhitan dengan (memakai) kapak.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa kata بالقدوم disini bukan dimaksudkan kapak, tetapi nama suatu desa yang berada di wilayah negeri Syam. Maka desa itulah tempat Nabi Ibarahim Dikhitan. Karena perkara khitanan termasuk salah satu dari beberapa ajaran Nabi Ibrahim, maka hal itu diterapkan pula kepad Anaknya yang bernama ishaq dan ismail, sebagaiman riwayat Mak-huul yang telah dikemukakan oleh ibnu Qayyim Al-Jauziyah yang mengatakan:
جَتَنَ اِبْرَاهِيْمُ اِبْنَهُ اِسْاقَ لِسَبْعَةِ اَيَّامٍ وَخَتَنَ اِسْمَاعِيْلَ لِثَلاَثِ عَشَرَسَنَةً.
Artinya:
“Nabi Ibrahim mengkhitankan anaknya (yang bernama) ishaq ketika berumur 7hari, dan mengkhitankan Ismail ketika berumur 13 tahun”.
Pendapat Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan wajib hukumnya menghitankan anak laki-laki. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Husnain Muhammad Makhluuf yang mengatakan:
وَاِنَّ خِتَانَ الزَّكَرِ وَاجِبٌ شَرْعًا, وَهُوَشِعَارُ اْلمُسْلِمِيْنَ, وَفِى مِلَّةِ اِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ, وَهُوَ مَذْهَبُ الشَّافِعِيَّةِ وَاْلحَنَابِلَةِ.
Artinya:
“dan sesungguhnya khitanan anak laki-laki, diwajibkan menurut syara’ (agama), karena termasuk syi’ar islam dan ikutan kepada ajaran Nabi Ibrahim AS hal ini termasuk penetapan Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah.
Tentang wajibnya khitanan laki-laki, berdasarkan pada sebuah ayat yang berbunyi:
قُلْ صَدَقَ اللَّهُ فَاتَّبِعُوا مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (٩٥)
Artinya:
“Katakanlah: benarlah (apa yang di firmankan )Allah. Mak ikutilah agama ibrahim yang lurus, bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik”.
Maksud perintah (kewajiban) mengikuti agama Nabi ibrahim pada ayat tersebut adalah melaksanakan seluruh ajarannya, termasuk di dalamnya khitanan. Maka ayat ini termasuk dasar kewajibannya khitanan bagi laki-laki dalam agama islam. Kalau status hukum tentang khitanan laki -laki tidak di sepakati oleh Ulama Mazhab beserta pengikut- pengikutnya, maka terhadap khitanan perempuan juga demikian halnya.
Mengenai status hukum khitan perempuan yang di tetapkan oleh Madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan hanabilah sebagai sunnat itulah yang disetujui penulis, dengan berdsrkan sebuah hadist yang berbunyi:
اَنَّ اَمْرَأَةً كَانَتْ تَخْتِنُ بِالْمَدِيْنَةِ فَقَالَ لَهَا النَّبَىُّ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَنْهَكِى فَاِنَّ
Atinya:
“Bahwasanya seorang perempuan menghitankan di Madinah, maka Nabi SAW berkata kepadanya: janganlah engkau merusak (alat kelaminnya), karena hal itu merupakan kehormatan bagi perempuan”. H.R Abu Daud yang bersumber dari Ummi ‘Athiyah.
Maksud perkataan Nabi yang mengatakan: janganlah engkau merusak alat kelamin perempuan itu, bukan melarang mengkhitankannya, tetapi hanya perintah untuk berhati-hati ketika melaksanakan khitanan itu. Dan hadits tersebut diatas, tidak terdapat unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) Nabi SAW terhadap perbuatan perempuan yang mengadakan khitanan di Madinah ketika itu. Hadits ini menunjukkan sebagai dasar disunnatkannya mengkhitankan perempuan. Riwayat lain mengatakan :
الختان سنة للرجال مكرمة للنساء
Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita.`
من أسلم فليختتن, ولو كان كبيرا.
Barangsiapa masuk Islam hendaknya berkhitan sekalipun telah dewasa
يا نساء الأنصار, إختضبن غمسا, واختفضن ولا تنهكن, واياكن وكفران النعم
Telah disebutkan diatas bahwa hanya khitanan laki-laki pun tidak disepakati oleh ulama Madzhab tentang status hukumnya. Dimana Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan wajib, sedangkan Madzhab Hanafiyah dan malikiyah menetapkan sunnat, meskipun kesemuanya mengakui bahwa perkara khitanan itu merupakan ikutan terhadap ajaran Nabi Ibarahim dan perlakuan Nabi Muhammad SAW.
Sepakat ulama Madzhab mengatakan, bahwa Nabi Muhammad SAW telah dikhitan sebelum menginjak umur remaja. Dan yang tidak disepakati oleh mereka, adalah siapa dan kapan beliau dikhitan? Berikut ini tiga macam riwayat yang berbeda versi, yaitu:
Riwayat pertama mengemukakan:
اَنَّهُ وُلِدَ مَخْتُوْنًا مَسْرُوْرً.
Artinya:
“bahwasanya dia (Muhammad) dilahirkan dengan keadaan sudah dikhitan dan dimuliakan”
Riwayat kedua mengatakan:
اَنَّ جَدَّهُ عَبْدَ اْلمُطَّلِبِ خَتَنَهُ يَوْمَ سَابَعِهِ وَصَنَعَ لَهُ مَأْدَبَهً وَسَمَّاهُ مُحَمَّدًا.
Artinya:
“bahwasnya kakeknya (yang bernama) Abdul Muththalib yang menghitankannya pada hari ke-7 (dari kelahirannya), dengan membuat sajian (selamatan) untuknya, lalu memberinya nama menjadi Muhammad.
Riwayat ketiga mengatakan:
اَنَّهُ جَتَنَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ شَقِّ قَلْبِهِ اْلمَلاَ ئِكَةُ عِنْدَ ظَئِرَهُ حَلِيْمَةُ.
Artinya:
“bahwasnya dia (Muhammad) dikhitan oleh Malaikat ketika dibedah dan dibersihkan dadanya diwaktu ia masih diasuh oleh Halimah.
Dapat ditegaskan bahwa khitanan laki-laki hukumnya wajib, berdasarkan beberapa keterangan diatas, disertai dengan alasan lain bahwa khitanan itu merupakan wahana untuk melakukan thaharah dari najis (hadats) yang status hukumnya wajib. Sedangkan terhadap khitan perempuan status hukumnya sunnat berdasarkan keterangan diatas, disertai dengan alasan bahwa tidak ada alat kelamin perempuan yang perlu dibuang untuk kepentingan thaharah, sebagaimana halya kelamin laki-laki yang harus dibuang sebagian kulitnya ketika dikhitan. Dan disunnahkan khitan perempuan agar sebagai ikutan terhadap ajaran Nabi Ibrahim bila disanggupinya.
====
Silahkan like FB Fan Page Facebook atau follow Twitter
====