Pengertian dan Hukum Menguburkan Mayat Di laut
Pengertian Menguburkan Mayat Di laut
Menguburkan mayat di laut, diartikan sebagai upaya menurunkan suatu mayat ke dasar laut, karena kendaraan yang membawanya tidak dapat mendarat dengan segera. Kadang-kadang terjadi suatu kasus, dimana penumpang kapal laut atau perahu, ada diantaranya yang meninggal dunia, sedangkan masa perjalanan untuk sampai kepada suatu objek yang dituju masih lama.
Kasus tersebut, tidak terlepas dari aturan Hukun Islam yang dianut oleh penumpang kapal laut atau perahu. Maka dalam hal ini, dapat dilihat dari status hukumnya menurut Islam.
Hukum Menguburkan Mayat Di laut
Sebenarnya, tempat yang paling afdhal ditempati menguburkan mayat adalah kuburan umum, karena resikonya dalam kesehatan masyarakat lebih kecil, dibandingkan dengan ketika dikuburkan di halaman rumah atau masjid. Memang mayat Rasulullah di kuburkan di halaman rumahnya di Madinah, karena dikhawatirkan oleh ‘Aisyah kalau kuburan itu ditempati orang-orang muslim menyembah, sebagaimana halnya kuburan Nabi-Nabi sebelumnya. Oleh karena itu, dikuburkannya mayat Rasulullah di halam rumahnya, semata-mata untuk menjaganya agar tidak ditempati orang-orang melakukan tindakan musyrik.
Akan tetapi, bila seseorang meninggal ditengah lautan, sedangkan perjalanan untuk sampai kedaratan masih jauh, maka boleh menguburkan dilaut; dengan ketentuan harus mayat itu dirawat secara islam; misalnya lebih dahulu dimandikan, dikafani (dibungkus dengan kain), disembahyangi, baru diturunkan ke laut.
Ibnu Qudaamah menerangkan cara-cara merawat mayat orang yang meninggal di laut dengan mengatakan:
اِذَامَاتَ فِىْ سَفِيْنَةٍ فِى اْلبَحْرِ, فَقَالَ اَحْمَدُرَحِمَهُ اللهُ: يَنْتَظِرُبِهِ اِنْ كَانُوْايَرْجِعُوْنَ اَنْ سَجِدُوْالَهُ مَوْضِعًا يَدْفِتُوْهُ فِيْهِ حَبَسُوْهُ يَوْمًا اَوْيَوْمَيْنِ مَالَمْ يَخَافُوْاعَلَيْهِ اْلفَسَادَ, فَاِنْ لَمْ يَجِدُوْاغُسِّلَ وَكُفِّنَ وَحُنِّطَ وَيُصَلّى عَلَيْهِ, وَيُثَقَّلُ بِشَيْءٍ وَيُلْقى فِى اْلمَاءِ, وَهذَاقَوْلُ عَطَاءَ وَالْحَسَنِ, وَقَالَ الْحَسَنُ: يُتْرَكُ فِى زَبِيْلٍ وَيُلْقى فِى الْبَحْرِ. وَقَالَ: الشَّافِعِىُّ: يًرْبَطُ بَيْنَ لَوْحَيْنِ لِيَحْمِلَهُ الْبَحْرُاِلَ السَّاحِلِ, فَرُبَّمَاوَقَعَ اِلى قّوْمٍ يَدْ فِنُوْهُ, وَاِنْ اَلْقَوْهُ فِى الْبَحْرِلَمْ يَأْثَمُوْا, وَالْاَوَّلُ اَوْلى, لِاَنَّهُ يَحْصُلُ بِهِ السِّتْرُ اْلمَقْصُوْدُمِنْ دَفْنِهِ, وَاِلْقَاؤُهُ بَيْنَ لَوْحَيْنِ تَعْرِيْضٌ لَهُ لِلتَّغَيُّرِ وَالْهَتْكِ, وَرُبَّمَابَقى عَلَى السَّاحِلِ مَهْتُوْكً عُرْيَانًا, وَرُبَّمَاوَقَعَ اِلى قَوْمٍ مِنَالْمُشْرِكِيْنِ, فَكَانَ مَاذَكَرْنَاهُ اَوْلى.
Artinya:
“Apabila (seseorang) meninggal di atas perahu ditengah lautan, maka Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah mengatakan: (mayat itu) ditangguhkan dulu bila mereka (penumpang perahu itu) akan kembali mencari daratan untuk ditempati menguburkan (mayat itu). Maka ia harus disimpan selama sehari atau dua hari, bila tidak dikhawatirkan akan membusuk. Dan apabila mereka tidak mendapatkan (daratan), maka mayat itu harus dimandikan, dikafani, dibalsem (diawetkan) dan disembahyangi. Lalu dibebani (diberati) dengan sesuatu, kemudian diturunkan kelaut. Ini termasuk pendapat ‘Athaa dan Al-Hasan. Dan Al-Hasan sendiri menerangkannya bahwa boleh disimpan dalam keranjang, lalu diturunkan ke laut. Tetapi Imam Syafi’iy mengatakan: (mayat itu) harus diikat diantara dua papan, agar dapat dibawa hanyut oleh ombak ke pinggir pantai. (karena) mungkin dapat ditemukan oleh suatu kaum, agar mereka menguburkannya. Dan kalau diturunkan kelaut, pasti mereka tidak berdosa. Maka pendapat yang pertamalah yang paling baik, karena dapat menyembunyikan mayat itu, sesuai dengan maksud menuburkannya. (akan tetapi) bila menurunkan ke laut dengan mengikat di antar dua papan, maka bertentangan dengan maksud (menguburkannya), karena keadaannya dapat tersingkap. Bahkan mungkin ia dapat terdampar di pinggir pantai dalam keadaan telanjang. Dan bisa saja diemukan oleh orang-orang musyrik. Maka hal ini, kami (Ibnu Qudamah) tidak mengatakannya lebih baik.
Dari keterangan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa ada dua macam pendapat mengenai cara-cara merawat mayat di tengah laut, yaitu:
- Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan bahwa boleh menguburkan mayat di laut bila sulit mendapatkan daratan dengan segera, dengan cara membebani sesuatu yang dapat menenggelamkannya ke dasar laut. Penetapan ini mengikuti pendapat yang telah dikemukakan oleh ‘Athaa dan Al-Hasan sebelumnya.
- Imam Syafi’iy menetapkan bahwa tidak boleh ditenggelamkan ke dasar laut, tetapi ia harus diikat dengan benda yang dapat mengapungnya baru diturunkan ke laut, agar dapat terdampar di tempat keramaian penduduk, supaya ia dapat menguburkannya di darat. Jadi Imam Syafi’iy masih menghendaki agar mayat itu dapat dikuburkan di darat, sebagai tempat yang paling afdhal untuk kuburan.
Dengan mengikuti alasan-alasan yang telah dikemukakan oleh Ibnu Qudamah di atas, disertai dengan alasan lain bahwa kalau mengupayakan agar mayat itu dapat hanyut ke pinggir laut, dikhawatirkan akan menggemparkan suasana masyarakat yang menemukannya. Atau sama sekali tidak ditemukan oleh masyarakat, akhirnya dapat dimakan oleh binatang buas dan tulang-tulangnya dapat tercecer ke mana-mana. Maka lebih baik bila ditenggelamkan saja ke laut setelah dimandikan, dikafani (dibungkus dengan kain yang ada), serta disembahyangi, lalu diturunkan ke laut dengan cara yang sama dengan ketika menurunkan ke lahad kubur.
====
silahkan like FB Fanspage ponpesalbadar dan follow twitter @ponpesalbadar
====