Pengertian Muru’ah
Muru’ah secara kebahasaan merupakan kata sifat yang akar katanya diambil dari kata benda “ Mar’u ” yang berarti manusia atau orang . Muru’ah pada mulanya berarti sifat yang dimiliki oleh manusia. Sifat tersebut menjadi pembeda manusia dari hewan dan makhluk lain pada umumnya.
Istilah muru’ah kemudian digunakan dalam agama kita untuk memberi pengertian pengaplikasian akhlak yang terpuji dalam segala aspek kehidupan serta menjauhkan akhlak yang tercela sehingga seseorang senantiasa hidup sebagai orang terhormat dan penuh kewibawaan .
Muru’ah Dalam Pandangan Ulama
Muru’ah dalam perspektif Imam Mawardi adalah menjaga kepribadian atau akhlak yang paling utama sehingga tidak kelihatan pada diri seseorang sesuatu yang buruk atau hina.
Dikatakan pula oleh Abdullah al-Anshari al-Harawi seorang tokoh mazhab Hambali, bahwa orang dapat dikatakan memiliki muru’ah apabila akalnya dapat mengendalikan syahwatnya .
Imam Al-Mawardi memandang bahwa sikap muru’ah merupakan perhiasan pribadi seorang Muslim : Menjadi bukti keutamaan budi dan menjadi tanda kemuliaannya .
Teringat sewaktu masih menjadi santri di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, belajar salah satu kitab kuning yang bernama kitab Safinatunnajah, sebuah kitab yang berisikan nasihat dan ajakan berbuat kebajikan. Dalam kitab tersebut juga memberikan nasihat agar kita senantiasa menjaga dan memelihara sifat muru’ah, janganlah engkau dudukkan dirimu bukan pada tempatnya. Peliharalah dan jaga dirimu dari pergaulan dengan orang-orang yang rendah akhlaqnya dan tercela. Angkatlah kehormatan dirimu ( muru’ah mu ) dari sifat-sifat kehinaan, janganlah engkau menjadi budak perutmu (hidup untuk makan ibarat binatang) dan janganlah engkau menjadi budak hawa nafsu syahwatmu dengan memperturutkan apa yang dikehendaki.
Dus, dalam kitab ini, fakir (kekurangan) dalam masalah harta tidaklah menjadi tercela bagi umat manusia. Seseorang akan tercela apabila tidak memiliki sifat muru’ah, bukan karena sedikit hartanya. Seseorang akan mendapat pujian jika memiliki sifat muruah dan baik dalam bergaul dengan keluarga dan temanya, jadi bukan karena banyak harta.
Mengapa Harus Menjaga Muru’ah Orang lain ?
Dalam konteks masyarakat saat ini, media komunikasi menjadi begitu mudah kita gunakan untuk mengekspresikan gagasan, pandangan serta penilaian-penilaian kita terhadap sesuatu.
Tidak hanya kalangan ibu rumah tangga, Kyai, anregurutta, Doktor, Professor serta berbagai lapisan sosial masyarakat lainnya bertindak sebagai subjek berita memanfaatkan media yang ada seperti media sosial yang trending belakangan ini. Terkadang kita tidak bisa membedakan antara mana “status” seorang santri dan mana “status” yang di publikasikan oleh kyainya, sebab sama sama mengeluarkan nasihat (misalnya). Pada kondisi seperti ini tidak ada persoalan karena muara kebajikan. Namun ketika yang terjadi sebaliknya, semisal berisi hujatan dan makian terhadap seseorang maka hal ini menjadi berbahaya, sebuah hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang berbunyi :
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Diantara kebaikan keislaman seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya.
Sejatinya kita harus menjaga aib dan keburukan orang lain jika memang ada, sebab belum tentu kesejarahan kita lebih baik dari orang yang kita olok-olok.
Percayalah, sebaik-baik penjaga adalah Allah, dan sebaik baik pemberi balasan adalah Allah.
Demikian artikel singkat ini, semoga bermanfaat.
====
Silahkan berkunjung ke laman sosial kami atau
====