Sejarah Lahirnya Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI )
MAI Mangkoso menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI )
Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ) merupakan realisasi dari keputusan musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah se Sulawesi Selatan tentang perlunya dibentuk suatu organisasi guna lebih meningkatkan fungsi dan peranan MAI Mangkoso, maka muncullah beberapa usul tentang nama bagi organisasi yang akan dibentuk itu. Antara lain usul dari K.H. Muh. Abduh Pabbajah dengan nama “نصر الحـقّ”, dari Ustadz H. Muh. Thahir Usman mengusulkan nama “العـروة الوثقى”, sementara Syekh Abd. Rahman Firdaus mengusulkan nama “دارالدعـوةوالارشـاد“. Setelah dimusyawarahkan, maka yang disepakati secara bulat adalah nama “Darud Da’wah Wal Irsyad”.[1]
Menurut Syekh Abd.Rahman Firdaus pemberian nama demikian adalah merupakan tafaul dalam rangka menyebarluaskan dakwah dan pendidikan dengan pengertian, Darun (دار) = Rumah, artinya tempat atau sentral penyiaran, Da’wah (دعـوة) = Ajakan, artinya panggilan memasuki rumah tersebut. Al-Irsyad (الإرشـاد) = Petunjuk, artinya petunjuk itu akan didapat melalui proses berdakwah lebih dahulu di suatu daerah kemudian disusul pendidikan pesantren/madrasah.
Berdasar pada argumen yang disebut di atas, maka Darud Da’wah Wal-Irsyad pada hakekatnya adalah suatu organisasi yang mengambil peran dalam fungsi mengajak manusia ke jalan yang benar dan membimbingnya menurut ajaran Islam ke arah kebaikan dan mendapatkan keselamatan dunia akhirat.
Untuk terwujudnya organisasi ini dan agar dapat segera memulai kegiatan-kegiatannya, maka oleh peserta musyawarah Alim Ulama diamanatkan kepada K. H. Abd. Rahman Ambo Dalle selaku pimpinan MAI yang telah memiliki cabang di beberapa daerah untuk mengambil prakarsa seperlunya. Segera K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle menjalankan amanah yang diembannya ini dengan mengundang guru-guru MAI beserta utusan cabang-cabang MAI dari daerah-daerah agar segera datang ke Mangkoso untuk menghadiri musyawarah yang diadakan pada bulan Sya’ban 1366 H. (1947 M.). Musyawarah ini sengaja diadakan untuk menyusun aktifitas (program) yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam musyawarah di Watansoppeng beberapa waktu sebelumnya. Memperhatikan kedua musyawarah ini, maka dapat dimengerti kalau pada asasnya MAI Mangkoso adalah cikal bakal berdirinya sebuah organisasi yang sampai kini dikenal dengan nama DDI.
Dilihat dari sudut historis sosiologis MAI Mangkoso yang lahir pada hari Rabu 20 Zulkaidah 1357 H. atau 11 Januari 1938 merupakan elemen dasar lahirnya suatu wadah yang ditunjang suatu idealisme yang dalam pengembangannya berwujud organisasi persatuan DDI. Atas dasar kerangka berpikir inilah, jelas pula posisi musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah yang diselenggarakan pada hari Jum’at 16 Rabiul Awal 1366 H. yang bertepatan dengan 17 Februari 1947 di Watan Soppeng sebenarnya adalah merupakan suatu forum yang berusaha untuk menemukan suatu rumusan yang berupa konsepsi dalam usaha menata potensi umat dengan membenahi dan meningkatkan peranan MAI Mangkoso guna memenuhi hasrat dan kebutuhan masyarakat, yang membawa konsekuensi diintegrasikannya MAI Mangkoso menjadi organisasi Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ).
Pengintegrasian itu sendiri harus diartikan sebagai suatu tolak ukur dalam peningkatan bentuk struktural dan operasional dari wadah yang bersifat organisasi sekolah semata, menjadi organisasi yang bersifat kemasyarakatan yang lapangan geraknya mengambil peranan dalam bidang pendidikan, dakwah dan usaha-usaha sosial.
Mangkoso sebagai Pusat Organisasi Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI )
Pada awal berdirinya Darud Da’wah Wal Irsyad, pusat organisasi ini berkedudukan di Mangkoso yang didasarkan atas beberapa pertimbangan, antara lain guna mempermudah diterapkannya penggunaan nama DDI dalam mengganti nama MAI pada eselon bawah di daerah-daerah, yang semula sudah didirikan MAI ditempat itu. Demikian pula karena tempat kedudukannya K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle sebagai pimpinan organisasi berada di Mangkoso.
Sebagai suatu organisasi yang baru berdiri, maka salah satu yang paling mendesak untuk dibenahi adalah merampungkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) yang didalamnya akan tergambarkan intensitas check and balance yang merupakan gambaran berlangsungnya demokratisasi dalam tubuh organisasi.
Untuk merampungkan penyusunan AD/ART ini ditangani oleh K.H. Muh. Abduh Pabbajah selaku Sekretaris. Semula AR/ART ini ditulis dalam Bahasa Arab kemudian diindonesiakan oleh K.H. M. Ali al-Yafie guna memudahkan bagi warga Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI) untuk memahaminya. Pekerjaan ini dilakukan bersama-sama dengan K.H. M. Amin Nashir. Sejak itu singkatan DDI mulai dipakai.
Dalam memantapkan proses pengintegrasian MAI Mangkoso menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ), dan untuk terjaminnya hubungan komunikasi antara pimpinan pusat organisasi dengan cabang-cabang di daerah, serta untuk memudahkan saluran informasi tentang kegiatan-kegiatan organisasi, maka diterbitkanlah satu bulletin yang diberi nama “Risalah Addariyah” yang mulai terbit pada tahun 1948. setelah sekian lama mengalami vakum, Risalah Addariyah ini kembali diaktifkan pada tahun 1975. Namun karena kesulitan dalam bidang keuangan dan tidak adanya sistem terpadu dalam pengelolaannya kembali mandek sejak tahun 1976, kemudian menjadi terbit kembali pada tahun 2004 sampai sekarang.
Dalam musyawarah guru-guru dan pengurus MAI di Mangkoso pada tahun 1947 ditemukan kata mufakat untuk menyetujui pengintegrasian MAI Mangkoso dengan seluruh cabangnya menjadi Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI), dengan tempat pusat organisasi berkedudukan di Mangkoso, dan mengokohkan susunan pengurus yang disusun berdasarkan rekomendasi dari hasil musyawarah Alim Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah di Watansoppeng sebagai berikut:
K e t u a : K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle
Ketua Muda : K.H. M. Daud Ismail (Qadhi Soppeng)
Penulis Satu : K. H. Muh. Abduh Pabbajah
Penulis dua : K. H. M. Ali Al-Yafie
Bendahara : H. M. Madani
Pembantu-pembantu : H. Abd. Muin Yusuf (Qadhi Sidenreng)
K. H. M. Yunus Maratan
K. H. Abd. Kadir (Qadhi Maros)
K.H. M. Tahir (Qadhi Balanipa Sinjai)
S. Ali Mathar
K.H.Abd. Hafid (Qadhi Sawitto)
K.H. Baharuddin Syata (Qadhi Suppa)
K.H. Kittab (Qadhi Soppeng Riaja)
H. Muchadi Pangkajene
T.N.B. Parepare
Penasehat : Syekh K.H.M. As’ad (Sengkang)
Syekh Haji Amoedi
Syekh H.Abd. Rahman Firdaus
Haji Zaenuddin (Jaksa di Parepare)
M. Aqib Macasai. [2]
Dengan susunan pengurus di atas terwujudlah secara utuh hasil musyawarah Alim Ulama se Sulawesi Selatan tentang pembentukan organisasi Islam yang secara konkritnya ditempuh dengan jalan mengintegrasikan MAI Mangkoso menjadi Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ).
Parepare dan Darud Da’wah Wal-Irsyad (DDI)
Dalam usaha lebih meningkatkan kordinasi dengan cabang-cabang Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ) yang sudah ada maupun untuk pemgembangannya ke daerah-daerah yang belum ada berdiri DDI, maka pimpinan pusat DDI yang sejak tahun 1947 berkedudukan di Mangkoso menetapkan suatu pilihan untuk memindahkan tempat kedudukan pimpinan pusat DDI ke Parepare pada tahun 1950.
Salah satu alasan mengapa kedudukan kepengurusan pusat DDI dipindahkan dari Mangkoso ke Kota Parepare, karena kota ini cukup strategis, berada pada posisi tengah, untuk jalur transportasi darat antar daerah di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Bahkan untuk perhubungan laut, tidak sedikit peran Pelabuhan Parepare sebagai pelabuhan nasional yang dapat menghubungkan secara langsung antara kota ini dengan beberapa kota pelabuhan di Kalimantan dan Sulawesi Tengah.
Faktor lain yang menunjang perpindahan itu adalah adanya beberapa dermawan/ pembina DDI setempat yang bersedia dalam penyedian fasilitas, akomodasi dan logistik organisasi. Selain itu, secara pribadi pimpinan pusat atau K.H. Abd. Rahman Ambo Dalle ketika itu diposisikan sebagai Qadhi Swapraja Mallusetasi yang berkedudukan di Parepare.
Dalam usaha persiapan perpindahan itu dibangunlah Madrasah/Pesantren DDI pusat yang berlokasi di sebelah Selatan Masjid Raya Parepare. Kini lokasi tersebut telah menjadi lokasi Rumah bersalin DDI dan Apotik Addariyah DDI.
Tidak berapa lama setelah kepengurusan pimpinan pusat DDI berkedudukan di Parepare, jumlah santri semakin bertambah dan dukungan pemerintah setempat semakin meningkat pula, sehingga pada tahun 1957 pimpinan pusat membangun kampus baru pondok pesantren DDI di Ujunglare, Parepare. Kampus baru ini luasnya sekitar 4 Ha dilengkapi dengan perkantoran Pengurus Besar DDI yang persis berdampingan dengan bangunan tempat belajar para santri. Sampai saat ini bangunan tersebut masih dimanfaatkan untuk mengurusi semua eselon organisasi, madrasah serta Perguruan Tinggi DDI. Pembangunan gedung ini beserta pembelian atas tanahnya merupakan pendayagunaan sumbangan dari Menteri Agama RI, K.H. M. Ilyas, yang besarannya sebanyak Rp. 2.500.000,- (Dua juta Lima Ratus Ribu Rupiah). Pada tahun 1993 diadakan muktamar DDI ke-17 di Sudiang, Makassar, dengan salah satu keputusannya adalah memindahkan tempat kedudukan Pengurus Besar DDI dari Parepare ke Makassar.
Sebagai gambaran berakarnya DDI di Kota Parepare dapat dilihat dari 29 Madrasah yang ada dalam kota ini terdapat 25 buah adalah Madrasah DDI yaitu: 4 buah tingkat Raudhatul ‘Athfal, 11 buah tingkat Ibtidaiyah/Diniyah, 6 tingkat Tsanawiyah, dan 3 buah tingkat Aliyah[3]. Bahkan di Parepare ini pula berkedudukan Universitas Islam DDI yang membawahi 12 fakultas, sebagai berikut:
- Fakultas Ushuluddin di Parepare
- Fakultas Tarbiyah di Pinrang
- Fakultas Syariah di Mangkoso
- Fakultas Tarbiyah di Pangkajene Sidrap
- Fakultas Tarbiyah di Polmas
- Fakultas Tarbiyah di Pangkep
- Fakultas Tarbiyah di Majene
- Fakultas Tarbiyah di Maros
- Fakultas Syariah di Pattojo
- Fakultas Tarbiyah Tingkat Doktoral di Parepare
- Fakultas Ushuluddin Tingkat Doktoral di Parepare
- STKIP DDI di Polewali dan Majene.
Demikian tulisan mengenai sejarah lahirnya Darud Da’wah Wal Irsyad ( DDI ), semoga bermanfaat.
====
Silahkan like FB Fan Page Facebook atau follow Twitter
====
[1]Tulisan Darud Da’wah Wal Irsyad ditetapkan demikian, sebagai pengecualian dari tata cara penulisan ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan yang diberi tanda ( ‘ ) pada kata Da’wah. Alasannya, karena ini merupakan sebuah nama (bukan kalimat sapaan biasa) untuk lembaga Islam yang kental dengan nuansa Bahasa Arab sehingga tidak perlu mengikuti kaedah ejaan Bahasa Indonesia. Karena itu, tidak sepatutnya ditulis “Darud Dakwah Wal Irsayd”.
[2]Anggaran Dasar Pertama Darud Dakwah Wal-Irsyad (DDI) th. 1947, hl. 4 (pasal 10).
[3]Laporan PB.DDI pada pertemuan Silaturrahmi dengan Manteri Agama RI H.Alamsyah Ratu Perwiranegara di Kampus DDI U.Lare Parepare tgl, 7 Nopember 1978.