Review Overview
Pengertian, Macam, dan Hukum Nikah Mutah
Pengertian Nikah Mutah
Nikah Mutah / kawin kontrak atau kawin perjanjian, merupakan tradisi masyarakat jahiliah, yang disebut dalam Hukum Islam sebagai istilah نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ atau زَوَاجُ اْلمُتْعَةِ kadang-kadang juga disebut اَلزَّوَاجُ اْلمُؤَقَّتُ (perkawinan temporer) atau اَلزَّوَاجُ اْلمُنْقَطَعُ (perkawinan terputus). Lalu definisinya dirumuskan oleh beberapa Ahli, antara lain:
Ibnu Qudamah mengatakan:
نِكَاحُ اْمُتْعَةِ اَنْ يَتَزَوَّجَ اْلمَرْأَةَمُدَّةً, مِثْلُ اَنْ يَقُوْلَ زَوَّجْتُكَ ابْنَتِى شَهْرًا اَوْسَنَةً اَوْاِلى انْقِضَاءِ اْمُوْسِمِ اَوْقُدُوْمِ اْلحَاجِّ وَشِبْهِهِ سَوَاءٌ كَانَتِ اْلمُدَّةُ مَعْلُوْمَةً اَوْ مَجْهُوْلَةً.
Artinya:
“nikah mut’ah adalah adanya seseorang mengawini wanita (dengan terikat) hanya waktu yang tertentu saja; misalnya (seorang wali) mengatakan: saya mengawinkan putriku dengan engkau selama sebulan, atau setahun, atau sampai habis musim ini, atau sampai berakhir perjalan haji ini dan sebagainya. Sama halnya dengan waktu yang telah ditentukan atau yang belum.
Sayyid Saabiq mengatakan:
نِكَاحُ اْلمُتْعَةِ: اَنْ يَعْقِدَ الرَّجُلُ عَلَى اْلمَرْأَةِ يَوْمً اَوْ اُسْبُوْعًااَوْشَهْرًا. وَيُسَمّى بِالْمُتْعَةِ: لِاَنَّ الرَّجُلَ يَنْتْفِعُ وَيَتَبَلَّغُ بِالزَّوَاجِ وَيَتَمَتَّعُ اِلَى اْلاَجْلِ الَّذِىْ وَقَّتَهُ.
Artinya:
“perkawinan mut’ah adalah adanya seseorang pria mengawini wanita selama sehari, atau seminggu, atau sebulan. Dan dinamakan mut’ah karena laki-laki mengambil manfaat serta merasa cukup dengan melangsungkan perkawinan dan bersenang-senang sampai kepada waktu yang telah ditentukannya.
Bertolak dari definisi di atas, maka pengertian nikah mutah adalah suatu ikatan perkawinan yang terikat dengan waktu tertentu, sehingga bila waktu tersebut sudah habis, maka perempuan yang telah dikawini itu dinyatakan tertalak.
Macam-macam Perkawinan Pada Masa Jahiliyah
Ada beberapa macam perkawinan pada masa jahiliyah, yang melatar belakangi perkawinan Islam; yang sebenarnya kalau digali dalam sejarah, terlihat bahwa macam-macam perkawinan jahiliyah itu, merupakan warisan turun-temurun dari perkawinan romawi dan persia. Macam-macam perkawinan yang dimaksudkan itu; antara lain:
Nikaahul Khidn (kawin pacaran)
Perkawinan tersebut, merupakan pergaulan bebas pria dengan wanita sebelum melangsungkan perkawinan yang resmi, untuk saling mengetahui kepribadian masing-masing. Perkwinan ini hampir serupa dengan istilah kawin percobaan, yang sering terjadi di masyarakat sekarang ini
Nikaahul Badl (kawin bergantian)
Perkawinan tersebut, ditandai dengan seorang suami minta kepada laki-laki lain untuk saling menukar istrinya, yang biasanya terjadi sistem tukar tambah antar keduanya.
Nikaahul Istibdhaa’
perkawinan tersebut, ditandai dengan seorang suami minta kepada laki-laki kaya, atau bangsawan, atau yang pandai, agar bersedia mengumpuli istrinya sampai ia hamil, karena menginginkan anak yang sama denga laki-laki yang mengumpulinya.
Nikaahur Rahth (kawin urunan)
Perkawinan tersebut, ditandai dengan seorang wanita dikumpuli oleh beberapa pria sampai ia hamil. Dan ketika anaknya lahir, maka ia minta kepada orang lain agar mengumpulkan semua pria yang pernah mengumpulinya, lalu wanita itu menunjuk salah seorang dari pria tersebut, untuk mengakui bayi yang lahir itu sebagai anaknya.
Nikaahul Baghaayaa (kawin pelacuran)
Perkawinan tersebut, ditandai dengan beberapa wanita yang bertempat tinggal di suatu komplek. Dan di tempat itu, dipasangi pemberitahuan yang berbunyi; bahwa kami bersedia melayani pria yang ingin bersama kami di kamar. Dan apabila ada di antaranya yang malahirkan bayi dari hasil hubungannya dengan pria, maka ia menunjuk salah seorang pri yang pernah mengumpulinya yang mirip wajah bayi yang dilahirkannya, untuk disuruh mengakui bayi itu sebagai anaknya. Jadi perkawinan ini hampir sama dengan Nikaahur Rath di atas.
Hukum Nikah Mutah
Untuk menentukan status hukum tentang nikah mutah maka dapat diklasifikasikan menjadi beberapa macam pendapat; yaitu:
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Al-Laits dan Imam al-Auzaa’iy mengatakan;
Perkawinan mut’ah itu hukumnya haram. Pendapat ini didasarkan pada beberapa Hadits yang antara lain berbunyi:
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَليْهِ وَسَلَّمَ حَرَّمَ اْلمُتْعَلةَ فَقَالَ: يَااَيُّهَ النَّاسُ اِنِّى كُنْتُ اَذَّنْتُ لَكُمْ فِى الْاِسْتِمْتَاعِ, اَلاَوَاِنَّ اللهَ قَدْحَرَّمَهَا اِلَل ىَوْمِ الْقِيَامِةِ. رواه ابن ماجه.
Artinya:
“bahwasanya Rasulullah SAW mengharamkan kawin mut’ah, maka ia berkata: hai manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan kamu sekalian kawin mut’ah. Maka sekarang ketahuilah, bahwa Allah mengharamkannya sampai hari kiamat”. (H.R. Ibnu Majjah).
اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لحُوُمِ اْلحُرُوْمِ اْلاَهْلِيَّةِ. رواه النسائى.
Artinya:
“bahwasanya Rasulullah SAW telah melarang perkawinan mut’ah terhadap wanita pada peperangan Khaibar dan (melarang pula) makan daging keledai peliharaan”. (H.R. An-Nasaa’iy)
Pengikut Madzhab Syi’ah mengatakan; nikah mutah dibolehkan dalam agama. Pendapat ini didasarkan pada sebuah Hadits yang berbunyi:
اَنَّ عُمَرَ قَالَ: مُتْعَتَانِ كَانَتَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. اَفَاَنْها عَنْهُمَا وَاُعَاقِبُ عَلَيْهَا؟ مُتْعَةُ النِّسَاءِ وَمُتْعَةُاْلحَجِّ, وَلِاَنَّهُ عَقْدٌ عَلى مَنْفَعَةٍ فَيَكُوْنَ مُؤَقَّتًاكَالْاِجَـرَةِ.
Artinya:
“bahwasanya ‘Umar berkata: dua macam perkawinan mut’ah (yang pernah terjadi) di masa Rasulullah SAW. Maka dapatkah aku melarangnya dan memberikan sangsi hukum terhadap pelakunya? (keduanya itu) adalah perkawinan mut’ah terhadap wanita (diwaktu tidak bepergian) dan kawin mut’ah (pada waktu bepergian) menunaikan ibadah hajji. Karena hal itu, merupakan perkawinan yang berguna (pada saat tertentu), maka perlu menentukan waktu berlakunya seperti halnya sewa-menyewa.
Dan pendapat ini pula mengikuti penetapan ahli hukum dari kalangan sahabat antara lain: Ibnu Abbas, ‘Athaa’ dan Abu Sa’id Al-Khudriyyi.
Imam Zufar berkata: perkawinan mutah hukumnya sah, meskipun syaratnya batal. Oleh karena itu, dibolehkan dalam ajaran islam. Dikatakan sah karena keterangan hadits yang dikemukakan oleh pengikut Madzhab Syi’ah di atas, tetapi syaratnya batal karena tidak disertai dengan niat kawin untuk selama-lamanya, kecuali hanya waktu sementara saja. Bertolak dari beberapa pendapat di atas, maka penulis mengikuti pendapat Imam Abu hanifah beserta Imam Madzhab yang sependapat dengannya, karena memandang bahwa kebolehan kawin mut’ah telah digapus oleh larangan melakukannya, sebagaimana keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majjah dan An-Nasaa’iy di atas.
Demikian Artikel mengenai Pengertian, Macam, dan Hukum Nikah Mutah / Kawin Kontrak, semoga bermanfaat.
====
silahkan like FB Fanspage ponpesalbadar dan follow twitter @ponpesalbadar
====