Bapak kami, Prof DR. H. Abdul Muis Kabry
Menurutku, sebutan “Bapak” tidak diberikan begitu saja. Karena seorang bapak seharusnya mengayomi, menjaga dan mendidik anaknya. Sosok seperti itu kami temukan pada bapak Prof DR. H. Abdul Muis Kabry. hal yang membuat kami mendapatkan sentuhan blood to blood walaupun sebenarnya kami bukanlah anak kandung beliau.
Jujur saja, saya tidak tahu banyak kehidupan beliau di luar Pondok Pesantren selain beliau adalah Rais A’m majelis a’la Pengurus besar DDI (Darud Dakwah wal Irsyad) dimana DDI merupakan sebuah lembaga yang bergerak di bidang pendidikan, dakwah, dan sosial, yang berbasis pada kepemimpinan ulama dan pesantren.
Ada hal yang tidak pernah saya lupakan sampai sekarang dan mungkin akan selalu kuingat sebagai pegangan hidup kelak. Waktu itu saya mengikuti MOS (Masa Orientasi Santri) di pondok pesantern al-Badar. Sebagai santri baru yang tidak mengetahui apa-apa tentang pesantren, jujur saja saya tidak tahu (dan mungkin teman-teman yang lain juga demikian) kalau yang memberikan materi pada waktu itu adalah Bapak dengan titel nama Profesor di depannya. Bukan karena materi yang dibawakan sederhana, tapi lebih pada kesederhanaan pakaian dan kehatangan yang dipancarkan oleh sosok bapak. Matanya yang tajam selalu membuatku gugup untuk memandang bapak terlalu lama, karena desas-desus di pondok, bapak dapat membaca watak seseorang dengan hanya melihat matanya saja.
Bertahun-tahun saya di pondok Pesantren, beberapa kali pula saya melihat bapak membersihkan halamannya sendiri sambil sesekali bercanda dengan rusa peliharaan beliau. Bahkan ketika memerintahkan kerja bakti di pondok, bapak juga ikut memegang sabit/celurit untuk memotong rumput. Terakhir saya baru sadar, Bapak tidak mengajarkan kami menjadi seorang pemimpin dengan retorika dan orasi, tapi mengajarkan kami memimpin dengan sebuah tindakan dari hati.
Hmmm…. Sudah seminggu semenjak beliau dimakamkan di Pondok Pesantren DDI Al-Badar. Seminggu itu pula saya bernostalgia dengan teman-teman alumni pondok tentang spirit beliau. Kami masih mengingat ketika ditampar oleh beliau karena kenakalan kami meninggalkan kelas untuk membeli jalangkote’ (kue khas Sulawesi). Dalam tradisi kepesantrenan, dipukul oleh kyai merupakan karomah/kemulian karena kyai menghukum as a love bukan as a hate. Jadi tak perlulah kami komplain sana sini tentang HAM, tentang pemukulan. Karena bagi kami itulah cinta yang diberikan Bapak dan cinta membuat kami seperti tertusuk pisau namun tetap dalam senyum.
Ada banyak yang ingin kuceritakan, namun takut kalau tulisanku tidak sebagus kenangan yang kusimpan bersama Bapak…
Terakhir, izinkan kututup dengan sebuah ayat yang mewakilkan doaku
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ
ارْجِعِي إِلَىٰ رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً
فَادْخُلِي فِي عِبَادِي
وَادْخُلِي جَنَّتِي
“Wahai nafsul mutmainah (jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”
Andi faried Tenrigau
14 September 2013, Bandara Sultan Hasanuddin